Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.( Yohanes 15 : 16 )

Saturday, January 30, 2010

Think and Thank


The Bubble and the Butterfly, Kisah Pemimpin Redaksi ELLE

Rasanya kita semua tidak kenal dengan orang yang bernama Jean-Dominique Bauby, kecuali Anda perempuan dan berbahasa Perancis atau suka membaca majalah bernama Elle. Ia pemimpin redaksi Elle. Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang "ditulisnya" secara sangat istimewa dan diberinya judul Le Scaphandre et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).

Tahun 1995 ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut 'locked-in syndrome', kelumpuhan total yang disebutnya 'seperti pikiran di dalam botol'.
Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah caranya berkomunikasi dengan para perawatnya, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Mereka menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip bila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. "Bukan main", kata Anda. Ya,itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya.

Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh "menulis" dengan cara si Jean, barangkali kita harus menangis dulu berhari-hari.

Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal 3 hari setelah bukunya diterbitkan. Jadi, "Berapapun problem dan stress dan beban hidup kita semua, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!"

Apa yang a.l. ditulisnya di memoarnya itu?
"I would be the happiest man in the world if I could just properly swallow the saliva that permanently invades my mouth".

Bayangkan, menelan ludah pun ia tak mampu :-(. Jadi kita yang masih bisa makan bakmi, ngga usahlah Bakmi Gajah Mada, indomie yang Rp 3.500 saja, seharusnya sudah berbahagia 100 kali lipat dibanding si Jean. Kita bahkan senantiasa mengeluh, setiap hari, sepanjang tahun. We are the constant whiners.

Apa lagi yang dikerjakan Jean di dalam kelumpuhan totalnya selain menulis buku? Ia mendirikan suatu asosiasi penderita 'locked-in syndrome' untuk membantu keluarga penderita. Ia juga menjadi "bintang film" alias memegang peran di dalam suatu film yang dibuat TV Perancis yang menceritakan kisahnya. Ia merencanakan buku lainnya setelah ia selesai menulis yang pertama. Pokoknya ia hidup seperti yang dikehendaki to celebrate life', to do something good for others. (Untuk 'merayakan' kehidupan, untuk melakukan kebaikan bagi orang lain)

Jadi, betapapun kemelutnya keadaan kita saat ini, mereka yang sedang stress berat, mereka yang sedang berkelahi baik dengan diri sendiri maupun melawan orang lain atau anggota keluarga, mereka yang sedang tidak bahagia karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, mereka yang jalannya masih terpincang-pincang karena baru saja terinjak paku, mereka yang sedang di-PHK, Saya yakin kita masih bisa menelan ludah.

Semoga kita semua tidak terus menjadi whiner, pengeluh abadi, manusia yang sukar puas.

Kata orang bijak, "Think and Thank", berfikirlah dan kemudian bersyukurlah.

Thursday, January 28, 2010

Jadilah Pelita


Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya.
Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.
Orang buta itu terbahak berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama
saja buat saya! Saya bisa pulang kok."
Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat
kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju
untuk membawa pelita tersebut.
Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat
orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
***

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta
bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita
ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa
kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!"
Si buta tertegun.... Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf,
"Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah
orang buta." Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga
atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu
menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan
perjalanan masing-masing.
***

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta
tadi. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun,
"Maaf, apakah pelita saya padam?" Penabraknya menjawab, "Lho, saya
justru mau menanyakan hal yang sama."
Senyap sejenak... secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang
buta?" Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya...," sembari meledak
dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita
mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
***

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris
saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut.
Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul
pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga,
jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa
ikut melihat jalan mereka."
***

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti
menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan
kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral
rintangan (tabrakan!).
Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin,
keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang
lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah
dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak
melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih
rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih
dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang
kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta"
walaupun mereka bisa melihat.

Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita,
yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja.
Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau
jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita.
Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat
pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah
pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin
bijaksana.
Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan
pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah,
apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam?

JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita. Sebuah pepatah
berusia 25 abad
mengatakan:
Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita
pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah
habis terbagi.

Tuesday, January 05, 2010

Hadiah dari Ayah


Seorang pemuda sebentar lagi akan diwisuda, sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana, akhir dari jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan.

Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari Ford. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu-satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu. Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenang-senang dengan teman-temannya, bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan keteman-temannya.

Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan,… bukan sebuah kunci ! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya. Dan dibalik kertas kado itu ia menemukan sebuah Kitab Suci yang bersampulkan kulit asli, dikulit itu terukir indah namanya dengan tinta emas. Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, "Yaahh… Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan alkitab ini untukku ? " Lalu dia membanting Kitab Suci itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidak bisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu.

Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses, dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan mempunyai istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas. Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam.

Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap Jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya. Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelak terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang dirumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan Kitab Suci itu, masih

terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu. Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut Kitab Suci itu, dan mulai membuka halamannya. Di halaman pertama Kitab Suci itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan Tuhan Maha Kaya dari segala apa yang ada di dunia ini"

Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang Kitab Suci itu. Dia memungutnya,…

. sebuah kunci mobil ! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan ! Dia membuka halaman terakhir Alkitab itu, dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu. Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu. Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. Bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga. Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati……..

Seberapa mahal dan berharganya kita pernah kehilangan sebuah barang, namun tak sebanding dengan kehilangan orang-orang yang kita cintai.

Nasi Goleng


Suatu hari seorang cadel ingin membeli nasi goreng yang sering mangkal di dekat rumahnya.
Cadel : "Bang, beli nasi goleng satu"

Abang : "Apa ... ?"

Cadel : "Nasi goleng!"

Abang : "Apaan?" (Ngledek lagi)

Cadel : "Nasi goleng!!!!!"

Abang : "Ohh ... nasi goleng ..."

Sambil ditertawakan oleh pembeli yang lain dan pulanglah si cadel dengan sangat
kesal. Sesampainya di rumah dia bertekad untuk berlatih mengucapkan "nasi goreng"
dengan benar. Hingga akhirnya dia mampu mengucapkan dengan baik dan benar.

Hari 2 .....
Dengan perasaan bangga, si cadel ingin menunjukkan bahwa dia bisa mengucapkan
pesanan dengan tidak cadel lagi.
Cadel : "Bang, saya mau beli NASI GORENG, bungkus!!!"

Abang : "Ohh ... pake apa?"

Cadel : ".... pake telol ....." (Sambil sedih)

Akhirnya kembali dia berlatih mengucapkan kata "telor" sampai benar.

Hari 3 .....
Untuk menunjukkan bahwa dia mampu, dia rela 3 hari berturut-turut makan nasi goreng.

Cadel : "Bang, beli NASI GORENG, pake TELOR!!!! Bungkus!"

Abang : "Ceplok atau dadar?"

Cadel : "Dadal ...!" (dengan spontan)
Kembali dia berlatih dengan keras ...

Hari 4 ........
Dengan modal 4 hari berlatih lidah, hari ini dia yakin mampu memesan dengan tanpa
ditertawakan.
Cadel : "Bang, beli NASI GORENG, pake TELOR, di DADAR!!!!!"

Abang : "Hebat kamu 'del, udah nggak cadel lagi nich, harganya Rp.2.500.- ' del."
Si cadel menyerahkan uang Rp 3.000,- kepada si abang, namun si abang tidak
memberikan kembaliannya, hingga si cadel bertanya.

Cadel : "Bang, mana kembaliannya? "

Abang : "Oh iya, uang kamu Rp 3.000,- harganya Rp 2.500,-, kembaliannya berapa del?
(sambil senyum ngledek)

Si cadel gugup juga untuk menjawabnya, dia membayangkan besok bakal makan nasi
goreng lagi.
Tapi akhirnya dia menjawab : "GOPEK ... !!!" sambil tersenyum penuh kemenangan.

INTI DALI CELITA INI ADALAH HIDUPLAH TELUS DENGAN PENUH PELJUANGAN !!! dan JANGAN
MENYELAH YAAAAAA....