Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.( Yohanes 15 : 16 )

Thursday, September 30, 2010

Aku Menangis Untuk Adikku


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen
dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku,
terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku,
jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
“Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami
dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamulakukan di masa mendatang? …
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak
pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk
masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil
yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,

“Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan
berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah
cukup membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan
ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang
sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah.
Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar,
dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.
Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika
mereka tahu saya adalah adikmu?

Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-
debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku
tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu
adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-
kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik
adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah
telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan
ibuku.

“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang
awal untuk membersihkan rumah ini.

Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak,
tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku
bekerja dan…”

Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya,
dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
“Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai
bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku
dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
“Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan
sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti
itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan
kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, iaberada pada dusun
yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk
pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu
dari sarung tanganku.

Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu
saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu
gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya.

Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku,
orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan
dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

VN:F [1.9.3_1094]

Semangkuk Nasi Putih


Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk ke dalam restoran tersebut. “Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih.”

Dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan. Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya. Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar berkata dengan pelan: “dapatkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya.”

Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum: “Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar!” Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir : “kuah sayur gratis.” Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.
“Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.”

Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini. “Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya!”

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin diluar kota, demi menuntut ilmu datang kekota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti. Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.

Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan di bawah nasi ?

Suaminya kemudian membisik kepadanya: “Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk dinasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ket empat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah.”

“Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.”
“Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?”

Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain. “Terima kasih, saya sudah selesai makan.” Pemuda ini pamit kepada mereka. Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka. “Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat!” katanya sambil
melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi. Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah kerumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.

Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi. Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan di luar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.

Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.

“Apa kabar?, saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan.”

“Siapakah direktur diperusahaan kamu ?, mengapa begitu baik terhadap kami? saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia!” sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.

“Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.” Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses untuk kerajaan bisnisnya.

Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang. Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka: “bersemangat ya! di kemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok!” Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan.

Sunday, September 26, 2010

Mujizat Nyanyian Sang Kakak


Kisah nyata ini terjadi di sebuah Rumah Sakit di Tennessee , USA . Seorang ibu muda, Karen namanya sedang mengandung bayinya yang ke dua. Sebagaimana layaknya para ibu, Karen membantu Michael anaknya pertama yang baru berusia 3 tahun bagi kehadiran adik bayinya. Michael senang sekali akan punya adik.

Kerap kali ia menempelkan telinganya diperut ibunya. Dan karena Michael suka bernyanyi, ia pun sering menyanyi bagi adiknya yang masih diperut ibunya itu. Nampaknya Michael amat sayang sama adiknya yang belum lahir itu. Tiba saatnya bagi Karen untuk melahirkan. Tapi sungguh diluar dugaan, terjadi komplikasi serius. Baru setelah perjuangan berjam-jam adik Michael dilahirkan. Seorang bayi putri yang cantik, sayang kondisinya begitu buruk sehingga dokter yang merawat dengan sedih berterus terang kepada Karen; bersiaplah jika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi.

Karen dan suaminya berusaha menerima keadaan dengan sabar dan hanya bisa pasrah kepada yang Kuasa. Mereka bahkan sudah menyiapkan acara penguburan buat putrinya sewaktu-waktu dipanggil Tuhan. Lain halnya dengan kakaknya Michael, sejak adiknya dirawat di ICU ia merengek terus!
Mami, ... aku mau nyanyi buat adik kecil! Ibunya kurang tanggap.
Mami, ... aku pengen nyanyi! Karen terlalu larut dalam kesedihan dan kekuatirannya.
Mami, ... aku kepengen nyanyi! Ini berulang kali diminta
Michael bahkan sambil meraung menangis. Karen tetap menganggap rengekan Michael rengekan anak kecil.
Lagi pula ICU adalah daerah terlarang bagi anak-anak.
Baru ketika harapan menipis, sang ibu mau mendengarkan Michael. Baik, setidaknya biar Michael melihat adiknya untuk yang terakhir kalinya. Mumpung adiknya
masih hidup! Ia d ice gat oleh suster didepan pintu kamar ICU. Anak kecil dilarang masuk!. Karen ragu-ragu. Tapi, suster.... suster tak mau tahu; ini peraturan!
Anak kecil dilarang dibawa masuk! Karen menatap tajam suster itu, lalu katanya: Suster, sebelum menyanyi buat adiknya, Michael tidak akan kubawa pergi!
Mungkin ini yang terakhir kalinya bagi Michael melihat adiknya! Suster terdiam menatap Michael dan berkata, tapi tidak boleh lebih dari lima menit!.
Demikianlah kemudian Michael dibungkus dengan pakaian khusus lalu dibawa masuk ke ruang ICU. Ia didekatkan pada adiknya yang sedang tergolek dalam sakratul
maut. Michael menatap lekat adiknya ... lalu dari mulutnya yang kecil mungil keluarlah suara nyanyian yang nyaring
"... You are my sunshine, my only sunshine,
you make me happy when skies are grey ..." Ajaib! si Adik langsung memberi respon. Seolah ia sadar akan sapaan sayang dari kakaknya.
You never know, dear, How much I love you. Please don't take my sunshine away. Denyut nadinya menjadi lebih teratur. Karen dengan haru melihat dan menatapnya
dengan tajam dan terus, ... terus Michael! teruskan sayang! ... bisik ibunya ... The other night, dear, as I laid sleeping, I dream, I held you in my hands
... dan sang adikpun meregang, seolah menghela napas panjang. Pernapasannya lalu menjadi teratur ... I'll always love you and make you happy, if you will
only stay the same ... Sang adik kelihatan begitu tenang ... sangat tenang.
Lagi sayang! bujuk ibunya sambil mencucurkan air matanya. Michael terus bernyanyi dan ... adiknya kelihatan semakin tenang, relax dan damai ... lalu tertidur
lelap.
Suster yang tadinya melarang untuk masuk, kini ikut terisak-isak menyaksikan apa yang telah terjadi atas diri adik Michael dan kejadian yang baru saja
ia saksikan sendiri.
Hari berikutnya, satu hari kemudian si adik bayi sudah diperbolehkan pulang. Para tenaga medis tak habis pikir atas kejadian yang menimpa pasien yang satu
ini. Mereka hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah therapy ajaib, dan Karen juga suaminya melihatnya sebagai Mujizat Kasih Ilahi yang luar biasa, sungguh
amat luar biasa! tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.
Bagi sang adik, kehadiran Michael berarti soal hidup dan mati. Benar bahwa memang Kasih Ilahi yang menolongnya. Dan ingat Kasih Ilahi pun membutuhkan mulut
kecil si Michael untuk mengatakan "How much I love you".
Dan ternyata Kasih Ilahi membutuhkan pula hati polos seorang anak kecil "Michael" untuk memberi kehidupan. Itulah kehendak Tuhan, tidak ada yang mustahil
bagiNYA bila IA menghendaki terjadi.
Note:
Kadang hal-hal yang menentukan, dalam diri orang lain ...
Datang dari seseorang yang kita anggap lemah ...
Hadir dari seseorang yang kita tidak pernah perhitungkan ...

Aku ditimpa kesesakan dan kesusahan, tetapi perintah-perintah-Mu menjadi kesukaanku. (Mazmur 119:143)

Monday, September 20, 2010

Apa TUHAN itu Ada


Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri Paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru Agama atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya.
Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut yaitu seorang Pendeta.

Pemuda : Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanya an saya?

Pendeta : Saya hamba Tuhan dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda

Pemuda : Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.

Pendeta : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya

Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya
2. Apakah yang dinamakan takdir
3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba Pendeta tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
Pendeta : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya

Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti

Pendeta : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit

Pendeta : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?

Pemuda : Ya

Pendeta : Tunjukkan pada saya wujud sakit itu !

Pemuda : Saya tidak bisa

Pendeta : Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.

Pendeta : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?

Pemuda : Tidak

Pendeta : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?

Pemuda : Tidak

Pendeta : Itulah yang dinamakan Takdir

Pendeta : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?

Pemuda : kulit

Pendeta : Terbuat dari apa pipi anda?

Pemuda : kulit

Pendeta : Bagaimana rasanya tamparan saya?

Pemuda : sakit

Pendeta : Walaupun setan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api. Jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan menjadi tempat menyakitkan untuk setan.

Saturday, September 18, 2010

Telepon ke Rumah TUHAN


Bayangkan bila pada saat kita berdoa dan mendengar ini:
"Terima kasih, Anda telah menghubungi Rumah Tuhan ".
Pilihlah salah satu:

* Tekan 1 untuk 'meminta'.
* Tekan 2 untuk 'mengucap syukur'.
* Tekan 3 untuk 'mengeluh'.
* Tekan 4 untuk 'permintaan lainnya'."

Atau, bagaimana jika Malaikat memohon maaf seperti ini:
"Saat ini semua malaikat sedang membantu pelanggan lain. Tetaplah menunggu. Panggilan Anda akan dijawab berdasarkan urutannya."
Bisakah Anda bayangkan bila pada saat berdoa, Anda mendapat respons seperti ini:
"Jika Anda mau bicara dengan Malaikat, :

tekan 1. Dengan Malaikat penjaga neraka,
tekan 2. Dengan malaikat lainnya,
tekan 3. Jika Anda ingin mendengar renungan saat Anda menunggu,
tekan 4. "Untuk jawaban pertanyaan tentang hakekat surga & neraka, silahkan tunggu sampai Anda tiba disini!!"

Atau bisa juga Anda mendengar ini :
"Komputer kami menunjukkan bahwa Anda telah satu kali menelpon hari ini, Silakan mencoba kembali esok hari."
"Kantor ini ditutup pada akhir minggu. Silakan menelpon kembali hari Senin setelah pukul 9 pagi.

" Puji Tuhan, bahwa Tuhan mengasihi kita, Anda dapat menelponNya setiap saat!!!
Anda hanya perlu untuk memanggilnya kapan saja, dimana saja entah itu di rumah, di kantor, di perjalanan, dalam kesusahan, dalam kegembiraan, dalam kebimbangan dan DIA pasti mendengar Anda.
Karena bila kita memanggil Tuhan, Anda tidak akan pernah mendapat nada sibuk.
Tuhan menerima setiap panggilan dan mengetahui siapa pemanggilnya secara pribadi.

Sudahkah anda menghubungi Tuhan hari ini??

GOSIP


Seorang wanita menyebarkan sepotong berita yang memalukan mengenai tetangganya. Dalam beberapa hari, seluruh desa mengetahui berita yang memalukan itu. Dan, orang yang menjadi korbannya merasa sakit hati dan terpukul.

Kemudian, wanita yang menyebarluaskan berita buruk tersebut mengetahui bahwa berita itu betul betul salah. Dia menyesal dan mendatangi orang tua yang bijak untuk meminta nasihat mengenai apa yang dapat ia lakukan untuk memperbaiki kesalahannya itu.

Pergilah ke pasar ,kata orang tua bijak itu, dan belilah seekor ayam. Sembelihlah kemudian, dalam perjalanan pulang, cabuti bulu bulunya dan buang satu per satu disepanjang jalan.

Meskipun terkejut mendengarkan itu, dia melakukan apa yang disarankan orang bijak itu kepadanya. Namun, ia merasa masih belum bisa memperbaiki kesalahannya menyebarluaskan berita bohong itu kepada seluruh penduduk desa. Keesokan harinya, ia kembali mengunjungi orang tua bijak itu dan menanyakan kembali persoalannya. Orang bijak itu berkata, Hmm....kalau begitu, sekarang pergilah dan kumpulkanlah semua bulu yang telah kaubuang kemarin dan bawa kembali kepadaku.

Wanita itu pun menyusuri jalan yang telah dilaluinya kemarin dan berusaha mengumpulkan bulu bulu ayam yang telah dicabutinya. Sayang, angin telah menerbangkan bulu bulu itu kesegala penjuru sehingga mustahilah ia bisa mengumpulkan semuanya. Setelah mencari cari selama berjam jam, ia kembali dan hanya bisa membwa tiga helai bulu. Lalu, ia kembali menemui orang bijak itu.

Lihatlah! kata orang bijak itu, sangat mudah mencabuti bulu ayam dan melemparkannya kemana anda suka, Namun, sangat tidak mungkin mengumpulkannya kembali. Begitu pula dengan gossip dan berita bohong. Tidak sulit untuk menyebarluaskan rumor, tetapi sekali terlempar, Anda tidak akan pernah secara penuh memperbaiki kesalahan anda.

P U S H


Seorang laki-laki sedang tidur di pondoknya ketika kamarnya tiba-tiba menjadi terang, dan nampaklah Sang Juruselamat. Tuhan berkata padanya bahwa ada pekerjaan yang harus dilakukannya.

Lalu Tuhan menunjukkan padanya sebuah batu besar di depan pondoknya. Tuhan menjelaskan bahwa ia harus mendorong batu itu dengan seluruh kekuatannya.

Hal ini dikerjakan laki-laki itu setiap hari. Bertahun- tahun ia bekerja sejak matahari terbit sampai terbenam, pundaknya sering menjadi kaku menahan dingin, ia kelelahan karena mendorong dengan seluruh kemampuannya. Setiap malam laki-laki itu kembali ke kamarnya dengan sedih dan cemas, merasa bahwa sepanjang harinya kosong dan tersia-sia.

Ketika laki-laki itu mulai putus asa, si Iblis pun mulai mengambil bagian untuk mengacaukan pikirannya " Sekian lama kau telah mendorong batu itu tetapi batu itu tidak bergeming. Apa kau ingin bunuh diri? Kau tidak akan pernah bisa memindahkannnya."

Lalu, ditunjukkannya pada laki-laki itu bahwa tugas itu sangat tidak masuk akal dan salah. Pikiran tersebut kemudian membuat laki-laki itu putus asa dan patah semangat.

"Mengapa aku harus bunuh diri seperti ini?" pikirnya. "Aku akan menyisihkan waktuku, dengan sedikit usaha, dan itu akan cukup baik."

Dan itulah yang direncanakan, sampai suatu hari diputuskannya untuk berdoa dan membawa pikiran yang mengganggu itu kepada Tuhan.

"Tuhan," katanya " Aku telah bekerja keras sekian lama dan melayaniMu, dengan segenap kekuatanku melakukan apa yang Kau inginkan. Tetapi sampai sekarang aku tidak dapat menggerakkan batu itu setengah milimeterpun. Mengapa? Mengapa aku gagal?'"

Tuhan mendengarnya dengan penuh perhatian," Sahabatku, ketika aku memintamu untuk melayaniKu dan kau menyanggupi, Aku berkata bahwa tugasmu adalah mendorong batu itu dengan seluruh kekuatanmu seperti yang telah kau lakukan. Tapi tidak sekalipun Aku berkata bahwa kau mesti menggesernya. Tugasmu hanyalah mendorong. Dan kini kau datang padaKu dengan tenaga terkuras, berpikir bahwa kau telah gagal. tetapi apakah benar? Lihatlah dirimu. Lenganmu kuat dan berotot, punggungmu tegap dan coklat, tanganmu keras karena tekanan terus- menerus, dan kakimu menjadi gempal dan kuat. Sebaliknya kau telah bertumbuh banyak dan kini kemampuanmu melebihi sebelumnya. Meski kau belum menggeser batu itu. Tetapi panggilanmu adalah menurut dan mendorong dan belajar untuk setia dan percaya akan hikmatKu. Ini yang kau telah selesaikan. Aku, sahabatku, sekarang akan memindahkan batu itu. "

Terkadang, ketika kita mendengar suara Tuhan, kita cenderung menggunakan pikiran kita untuk menganalisa keinginanNya, sesungguhnya apa yang Tuhan inginkan adalah hal-hal yang sangat sederhana agar menuruti dan setia kepadaNya....

Dengan kata lain, berlatih menggeser gunung-gunung, tetapi kita tahu bahwa Tuhan selalu ada dan Dialah yang dapat memindahkannya. Ketika segalah sesuatu kelihatan keliru.... lakukan P.U.S.H. (PUSH = dorong)
Ketika pekerjaanmu mulai menurun.... lakukan P.U.S.H.
Ketika orang-orang tidak berlaku seperti yang semestinya mereka lakukan.... lakukan P.U.S.H.
Ketika uangmu seperti "lenyap" dan tagihan-tagihan mulai harus dibayar.... lakukan P.U.S.H.

P. Pray
U. Until
S. Something
H. Happens
PUSH = Pray Until Something HAPPENS!!

(Berdoalah sampai sesuatu terjadi)

Bapaku Seorang PEMULUNG


Suatu hari seorang guru sekolah Minggu memberi tugas kepada murid-muridnya: "Seperti apa Allah Bapa itu? Untuk mudahnya, kalian harus melihat Dia sebagai seorang Papi." Ujar guru tersebut.

Minggu berikutnya, sang guru menagih PR dari setiap murid. "Allah Bapa itu seperti dokter!" ujar seorang anak yang papanya adalah dokter. "Ia sanggup menyembuhkan penyakit seberat apapun!" "Allah Bapa seperti guru!" ujar anak lain. "Dia selalu mengajarkan kitauntuk berbuat yang baik dan benar."

"Allah Bapa seperti hakim. Ia adil dan memutuskan segala perkara di bumi."

"Menurut aku, Allah Bapa itu seperti arsitek. Dia membangun rumah yang indah untuk kita di surga!" ucap seorang anak tidak mau kalah." Allah Bapa itu pokoknya kaya sekali dech! Apa saja yang kita minta Dia punya! Ujar seorang anak konglomerat.

Guru tersenyum ketika satu demi satu anak memperkenalkan sosok Allah Bapa dengan semangat. tetapi ada satu anak yang sejak tadi diam saja dan nampak risih mendengar jawaban anak-anak lain. "Eddy, menurut kamu Allah Bapa itu?" ujar ibu guru dengan lembut. Ia tahu anak ini tidak seberuntung anak-anak lain dalam hal ekonomi dan cenderung lebih tertutup.

Eddy hampir-hampir tidak dapat mengangkat mukanya, dan suaranya begitu pelan ketika menjawab, "Ayah saya seorang pemulung...jadi saya pikir....Allah Bapa itu seorang pemulung ulung.." Ibu guru terkejut bukan main dan anak-anak lain protes.

Mendnegar Allah Bapa disamakan dengan pemulung Eddy mulai ketakutan. "Eddy", ujar ibu guru. "Mengapa kamu samakan Allah Bapa dengan pemulung?" Untuk pertama kalinya Eddy mengangkat wajahnya dan menatap ke sekeliling sebelum akhirnya menjawab, "Karena Ia memungut sampah yang tidak berguna seperti Eddy dan menjadikan Eddy manusia baru, Ia menjadikan Eddy anakNya." "Sama seperti papa yang memungut kaleng bekas Coca Cola, botol AQUA dan menjadikannya bernilai untuk memberi kami makan, Eddylah kaleng bekas Coca Cola itu yang sekarang dijadikan berguna oleh Allah Bapa."

"Allah Bapa adalah Pemulung Ulung."

Memang, bukankah Dia adalah Pemulung Ulung? Dia memungut sampah-sampah seperti saudara dan saya, menjadikan kita anak-anakNya, hidup bersama Dia, menjadikan kita biji mata kesayanganNya, bahkan menjadikan kita pewaris Kerajaan Allah.

"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Yohanes 3:16

Belajar dari SEMUT


Suatu hari Raja Daud mengajak Salomo anaknya utk menemaninya berjalan-jalan di taman istana. Setelah letih berkeliling duduklah ia di bawah sebuah pohon yang rindang. Dilihatnya Salomo sedang asyik memandangi sesuatu. Rasa penasaran Daud mendorongnya untuk menghampiri Salomo.

"Anakku apa yang sedang engkau lihat?" tanya sang ayah.

"Oh lihatlah ayah sekawanan semut itu, mereka begitu sibuk mengangkat daun menuju sarang. Untuk apa sebenarnya daun-daun itu?" tanya Salomo kepada ayahnya.

"Daun itu adalah makanannya, anakku. Ini adalah musim dimana mereka biasa mengumpulkan makanan, untuk bekal ketika salju mulai turun menutupi bumi," jawab Daud.

"Lihatlah mereka begitu kecil tapi sanggup mengangkat daun yang begitu besar, bahkan jauh lebih besar dari tubuh mereka sendiri. Ternyata semut tidak selemah yang aku kira selama ini," sambung Salomo. Dia tampak begitu heran dan kagum dengan pemandangan yang sedang dilihatnya.

"Yah, itulah kuasa Tuhan, bahkan binatang yang paling lemah diberikan Tuhan kekuatan melebihi yang lain. Tuhan itu adil. Tahukah kamu anakku, semut yang kecil ini sanggup mengangkat beban yang bahkan 10 kali lebih berat dari tubuhnya. Seekor gajah yang paling besarpun tidak akan sanggup menandingi kekuatan seekor semut. Anakku, jangan pernah sekalipun engkau meremehkan mereka yang tampak lemah. Belajarlah dari semut jika engkau nanti menjadi seorang raja, " jawab Raja Daud.

"Engkau tahu berapa lama mereka akan mengangkat makanan-makanan itu?" tanya Raja.

"Entah ayah, mungkin sampai nanti sore," jawab Salomo.

"Tidak nak, tidak seperti itu. Mereka akan terus bekerja mengumpulkan makanan hingga musim dingin tiba. Lihatlah bagaimana mereka bekerja! Mereka seakan tidak pernah lelah. Tidak ada yang diam, tidak ada yang tampak sedang asik bersantai bukan?" sambung Raja Daud.

"Ya, ayah benar. Mereka semua bekerja! Tapi Ayah, mungkinkah karena mereka takut akan dihukum jika tidak bekerja? Mungkin ada yang sedang mengawasi mereka bekerja," Salomo mencoba mengajukan argumennya.

"Tidak, tidak ada yang mengawasi, semut bukan budak dari siapapun. Semut hanya memiliki seorang ratu yang bertugas melahirkan para semut, sedangkan sebagian besar semut adalah jenis pekerja dan sisanya adalah semut prajurit yang bertugas menjaga koloni dan ratu mereka. Tapi tidak untuk mengontrol para pekerja," jawab Raja Daud.

"Anak ku, jika engkau mau merenungkannya, engkau bisa belajar banyak dari kehidupan para semut," sambung Raja Daud.

"Apakah itu ayah, katakanlah supaya aku ini mengerti," pinta Salomo.

"Baiklah, supaya engkau tahu, semut adalah binatang yang bijaksana, yang menyadari bahwa untuk segala sesuatu ada masanya. Mereka menyadari ada waktu untuk mengumpulkan dan bekerja serta ada waktu untuk beristirahat. Ketika masa untuk bekerja datang, mereka akan menggunakannya untuk mengumpulkan bekal makanan. Tak satupun dari mereka yang berusaha mencuri waktu untuk bersantai dan bersenang-senang. Karena mereka sadar ketika musim dingin tiba, mereka akan dapat beristirahat di dalam sarangnya yang hangat, semua beristirahat, tidak ada yang bekerja. Mereka makan dan minum, berpesta sambil menanti datangnya musim semi."

"Yang kedua, sebagai semut, mereka tahu bagaimana hidup dalam bersama dalam komunitasnya. Setiap semut paham akan tugas dan perannya masing masing. Mereka menjalankan tugasnya dengan setia. Mereka tidak perlu dipaksa dan tidak perlu didikte. Mereka tetap bekerja tanpa perlu diawasi. Tiap-tiap semut akan melakukan tugasnya dengan sukarela dan sungguh-sungguh. Yang satu tidak iri dengan yang lain. Selain rajin, semut adalah binatang yang memiliki integritas tinggi."

"Anakku jika engkau nanti menjadi seorang raja yang akan memimpin bangsamu, ajaklah rakyatmu belajar dari para semut," sambung Sang Daud.

Tak terasa hari semakin siang. Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Digandengnya tangan Salomo, "Anakku sudah saatnya untuk pulang. Masih cukup waktu untuk kamu bisa merenungkannya nanti."

Ya masih banyak waktu bagi kita untuk merenungkan, betapa tidak sempurnanya kita sebagai manusia, hingga masih harus belajar dari para semut.

Jawaban DOA 2


Satu-satunya orang yang selamat dari kecelakaan sebuah kapal terdampar di pulau yang kecil dan tak berpenghuni. Pria ini segera berdoa supaya Tuhan menyelematkannya, dan setiap hari dia mengamati langit mengharapkan pertolongan, tetapi tidak ada sesuatupun yang datang.

Dengan capainya, akhirnya dia berhasil membangun gubuk kecil dari kayu apung untuk melindungi dirinya dari cuaca, dan untuk menyimpan beberapa barang yang masih dia punyai.

Tetapi suatu hari, setelah dia pergi mencari makan, dia kembali ke gubuknya dan mendapati gubuk kecil itu terbakar, asapnya mengepul ke langit. Dan yang paling parah, hilanglah semuanya.

Dia sedih dan marah. "Tuhan, teganya Engkau melakukan ini padaku?" dia menangis. Pagi- pagi keesokan harinya, dia terbangun oleh suara kapal yang mendekati pulau itu. Kapal itu datang untuk menyelamatkannya.

"Bagaimana kamu tahu bahwa aku di sini?" tanya pria itu kepada penyelamatnya.

"Kami melihat tanda asapmu", jawab mereka.

Mudah sekali untuk menyerah ketika keadaan menjadi buruk. Tetapi kita tidak boleh goyah, karena Tuhan bekerja di dalam hidup kita, juga ketika kita dalam kesakitan dan kesusahan. Ingatlah, ketika gubukmu terbakar, mungkin itu "tanda asap" bagi kuasa Tuhan. Ketika ada kejadian negatif terjadi, kita harus berkata pada diri kita sendiri bahwa Tuhan pasti mempunyai jawaban yang positif untuk kejadian tersebut.

Kamu berkata, "Itu tidak mungkin."
Tuhan berkata, "Tidak ada hal yang tidak mungkin." (Lukas 18:27)

Kamu berkata, "aku terlalu capai."
Tuhan berkata, "Aku akan memberikan kelegaan padamu." (Matius 11:28)

Kamu berkata, "Tidak ada seorangpun yang mencintai aku."
Tuhan berkata, "Aku mencintaimu." (Yohanes 3:16-Yohanes 13:34)

Kamu berkata, "Aku tidak bisa meneruskan."
Tuhan berkata, "Kasih karuniaKu cukup." (2 Korintus 12:9 - Mazmur 91:15)

Kamu berkata, "Aku tidak mengerti."
Tuhan berkata, "Aku akan menuntun langkah-langkahmu." (Amsal 3:5-6)

Kamu berkata, "Aku tidak bisa melakukannya."
Tuhan berkata, "Kamu bisa melakukan semuanya." (Filipi 4:13)

Kamu berkata, "Ini tidak berharga."
Tuhan berkata, "Itu akan berharga." (Roma 8:28)

Kamu berkata, "Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri."
Tuhan berkata, "Aku memaafkanmu." (1 Yohanes 1:9-Roma 8:1)

Kamu berkata, "Aku tidak bisa mengatasi."
Tuhan berkata, "Aku akan menyediakan kebutuhanmu." (Filipi 4:19)

Kamu berkata, "Aku takut."
Tuhan berkata, "Aku tidak memberikan padamu roh ketakutan." (II Timotius 1:7)

Kamu berkata, "Aku selalu kuatir dan frustasi."
Tuhan berkata, "Serahkan segala kekuatiranmu kepadaku." (I Petrus 5:7)

Kamu berkata, "Aku tidak mempunyai iman yang kuat."
Tuhan berkata, "Aku memberi setiap orang iman menurut ukurannya." (Roma 12:3)

Kamu berkata, "Aku tidak pandai."
Tuhan berkata, "Aku memberikan padamu hikmat." (I Korintus 1:30)

Kamu berkata, "Aku merasa aku sendirian."
Tuhan berkata, "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu atau membiarkanmu." (Ibrani 13:5)

Wartakanlah ini pada siapa yang membutuhkan, Saya percaya ada saat-saat di mana kita merasa "gubuk" kita terbakar.

Jawaban DOA


Ada seorang kakek yang sudah tua, tinggal di sebuah rumah di pinggiran desa. Kakek ini adalah seorang yang sangat saleh dan rajin beribadah kepada Tuhan. Si kakek dikenal di seluruh desa karena kebaikannya suka menolong orang dan taat beribadah.

Pada suatu hari turun hujan lebat di desa tersebut dan air dengan sangat cepatnya naik ke atas dan telah mencapai sebatas lutut. Orang-orang di desa tersebut telah diinstruksikan untuk mengungsi dan ramai-ramai mereka membawa barang-barangnya keluar dari rumah mereka masing-masing.

Si Kakek yang tinggal di pinggiran desa juga tidak luput dari situasi banjir tersebut dan menjadi cemas karenanya, tetapi sebagai orang yang beriman, dia berusaha berdoa memohon kepada Tuhan untuk menghentikan hujan yang lebat tersebut agar seluruh orang di desa tersebut bisa diselamatkan.

Tak lama setelah dia berdoa, datanglah kepala desa hendak menjemputnya dengan kendaraan jipnya, tetapi si kakek menolak dengan halus dan dia berkata bahwa dia percaya bahwa Tuhan akan mendengarkan doanya dan segera menghentikan hujan lebat tersebut.

Pergilah segera sang kepala desa dengan perasaan cemas, tetapi karena dia percaya bahwa dia memang orang yang saleh, tentunya Tuhan juga pasti akan menolongnya juga. Hujan turun semakin lebatnya dan telah mencapai ketinggian satu meter dan seluruh penduduk desa telah mengungsi ke luar dan si kakek pun sudah berjongkok di atas lemarinya, dengan perasaan yang semakin cemas akhirnya dia berdoa dengan lebih keras lagi memohon kepada Tuhan untuk segera menghentikan hujan lebat tersebut.

Tak lama kemudian datanglah regu penyelamat dengan mengendarai perahu karet dan berteriak-teriak memanggil si kakek. Si kakek pun berteriak kepada regu penyelamat tersebut dan berkata bahwa dia telah berdoa kepada Tuhan dengan lebih bersungguh-sungguh dan Tuhan selama ini tidak pernah tidak mendengarkan doanya dan dia percaya bahwa kali inipun Tuhan pasti mendengarkan doanya.

Akhirnya perahu karet itupun pergi dengan perasaan yang sangat khawatir akan keselamatan si kakek, tetapi karena merekapun merasa bahwa sang kakek memang memiliki iman yang lebih tebal daripada mereka maka merekapun tidak berani memaksa lebih keras lagi. Sepeninggal regu penyelamat dengan perahu karet, hujan malah turun semakin lebatnya dan lebih lebat dari sebelumnya dan kali ini si kakek sudah berdiri di atas atap rumahnya dan berteriak-teriak dengan sangat kerasnya berdoa memohon kepada Tuhan untuk segera menghentikan hujan lebat tersebut.

Dari atas terdengar deru helikopter dengan keras dengan lampu sorotnya dan tampak beberapa orang berteriak dari atas helikopter kepada sang kakek untuk segera menangkap tali yang dilemparkan ke bawah. Dan kali inipun sang kakek menolak dan berkata dengan yakinnya bahwa dia telah berdoa dengan sangat sungguh-sungguh dan kali ini Tuhan pasti akan menghentikan hujan tersebut dan menolong si kakek.

Dengan putus asa helikopter tersebut meninggalkan si kakek yang terus berteriak-teriak memohon kepada Tuhan untuk menghentikan hujan lebat tersebut dan mereka berharap bahwa semoga doa kakek terkabul dan mereka juga tahu bahwa kakek adalah orang yang sangat beriman dan selalu menolong orang lain.

Akhir kata, hujan tidak juga berhenti dan menenggelamkan si kakek dan dia pun meninggal. Karena selama hidupnya kakek tersebut sangat beriman dan tidak pernah sekalipun berbuat yang tidak baik dihadapan Tuhan, maka si kakek diijinkan masuk ke dalam surga. Di surga, kakek bertemu dengan Tuhan dan lalu menyatakan kekecewaannya karena doanya yang terakhir tidak dikabulkan oleh-Nya.

Tuhan pun berfirman kepadanya, "Kakek yang baik, engkau adalah anak-Ku yang baik dan sepanjang hidupmu engkau selalu menuruti firman-Ku, dan Aku pun selalu mendengarkan doa-doamu dan mengabulkannya. Pada waktu engkau berdoa yang pertama kalinya, Aku telah mengirim kepala desa untuk menjemputmu dengan mobil jipnya tetapi engkau tolak, lalu doamu yang kedua, Aku mengirimkan regu penyelamat dengan perahu karetnya dan itupun kau tolak dan terakhir engkau berdoa kepadaKu, Aku mengirimkan sebuah helikopter untuk menjemputmu tetapi masih engkau tolak juga. Aku selalu mendengarkan doamu anakKu."

Inti cerita ini adalah mengenai sebuah kesempatan,
dan bagaimana kita mengerti jawaban Tuhan atas doa-doa kita

Sunday, September 12, 2010

Sang Akrobat


Seorang pemain akrobat. Di ujung dua buah tiang yang tinggi dipasang sebatang balok besi yang menghubungkan kedua tiang tersebut. Dan di atas balok besi itulah ia berjalan kesana kemari sambil berusaha menjaga keseimbangan badannya. Ia mencoba beberapa gerakan yang nampaknya amat berbahaya yang membuat penonton harus menahan nafas agar jantung tidak terputus.

Sang akrobat lalu berhenti sejenak dan memperhatikan semua penontonnya, lalu bertanya; "Siapa di antara kalian merelakan diri agar saya pikul melewati balok besi ini?" Tak satupun di antara para penonton itu yang rela menerima tawaran tersebut. Semua tentu saja takut kalau-kalau suatu kefatalan terjadi maka mereka akan terjatuh. Dan bila sungguh terjadi demikian maka ajal mereka akan berakhir di balik balok besi tersebut.

Tiba-tiba seorang anak kecil secara amat berani menaiki tiang tersebut dan merelakan diri untuk dipikul sang akrobat melewati balok besi tersebut. Ketika ia berada di atas pundak sang akrobat, semua penonton menahan nafas. Semua mengatupkan tangan berdoa agar keduanya selamat. Ada pula di antara penonton tersebut yang memejamkan mata tak berani menonton.

Ketika adegan ini berakhir dan sang akrobat maupun anak kecil yang ada di pundaknya selamat tiba di seberang, ada orang datang bertanya kepada anak tersebut; "Mengapa anda begitu berani membiarkan dirimu berada dalam bahaya seperti itu?"

Sang anak kecil itu dengan penuh rasa bangga berkata; "Karena ia adalah ayahku. Bersama ayahku, aku tak akan pernah merasa takut, bahkan di tengah mara bahaya sekalipun."

Tahukah anda siapa Allah yang anda sembah?? Kita selalu menyapaNya sebagai Bapa. Dan dengan sapaan itulah kita mendoakan doa yang diajarkan Yesus kepada kita: "Bapa kami yang ada di Surga...". Namun apakah kita juga sama seperti sang anak kecil di atas, yang kendatipun berada di tengah bahaya namun tak merasa takut? Si kecil tak merasa takut karena ia percaya sepenuhnya pada cinta dan kasih setia ayahnya. Hendaknya kitapun demikian; Bersama Allah, kita tak perlu takut, bahkan ketika harus berhadapan dengan mara bahaya yang paling mengerikan sekali pun.

Hendaknya kitapun bersama sang Pemazmur bermadah: "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Maz 23; 4).

Tuhan Dan Pengembara


Ada seorang pengembara yang sangat ingin melihat pemandangan yang ada di balik suatu gunung yang amat tinggi. Maka disiapkanlah segala peralatannya dan berangkatlah ia. Karena begitu beratnya medan yang harus dia tempuh, segala perbekalan dan perlengkapannya pun habis. Akan tetapi, karena begitu besar keinginannya untuk melihat pemandangan yang ada di balik gunung itu, ia terus melanjutkan perjalannya. Sampai suatu ketika, ia menjumpai semak belukar yang sangat lebat dan penuh duri. Tidak ada jalan lain selain ia harus melewati semak belukar itu.

Pikir pengembara itu “ Wah, jika aku harus melewati semak ini, maka kulitku pasti akan robek dan penuh luka. Tapi aku harus melanjutkan perjalanan ini. “ Maka pengembara itupun mengambil ancang-ancang dan ia menerobos semak itu. Ajaib, pengembara itu tidak mengalami luka goresan sedikitpun. Dengan penuh sukacita, ia kemudian melanjutkan perjalanan dan berkata dalam hati “ Betapa hebatnya aku. Semak belukarpun tak mampu menghalangi aku . “

Selama hampir 1 jam lamanya ia berjalan, tampaklah di hadapannya kerikil-kerikil tajam berserakan. Dan tak ada jalan lain selain dia harus melewati jalan itu. Pikir pengembara itu untuk kedua kalinya “ Jika aku melewati kerikil ini, kakiku pasti akan berdarah dan terluka. Tapi aku tetap harus melewatinya.” Maka dengan segenap tekadnya, pengembara itu berjalan. Ajaib, ia tak mengalami luka tusukkan kerikil itu sedikitpun dan tampak kakinya dalam keadaan baik-baik saja. Sekali lagi ia berkata dalam hati : “ Betapa hebatnya aku. Kerikil tajampun tak mampu menghalangi jalanku. “

Pengembara itupun kembali melanjutkan perjalanannya. Saat hampir sampai di puncak gunung itu, ia kembali menjumpai rintangan. Batu-batu besar dan licin menghalangi jalannya, dan tak ada jalan lain selain dia harus melewatinya. Pikir pengembara itu untuk yang ketiga kalinya : “ Jika aku harus mendaki batu-batu ini, aku pasti akan tergelincir dan tangan serta kakiku akan patah. Tapi aku ingin sampai di puncak itu. Aku harus melewatinya. “ Maka pengembara itupun mulai mendaki batu itu dan ia...tergelincir. Aneh, setelah bangkit, pengembara itu tidak merasakan sakit di tubuhnya dan tak ada satupun tulangnya yang patah. “ Betapa hebatnya aku. Batu-batu terjal inipun tidak dapat menghalangi jalanku. “ Maka, iapun melanjutkan perjalanan dan sampailah ia di puncak gunung itu.

Betapa sukacitanya ia melihat pemandangan yang sungguh indah dan tak pernah ia melihat yang seindah ini. Akan tetapi, saat pengembara itu membalikkan badannya, tampaklah di hadapannya sosok manusia yang penuh luka sedang duduk memandanginya. Tubuhnya penuh luka goresan dan kakinya penuh luka tusukan dan darah. Ia tak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya karena patah dan remuk tulangnya. Berkatalah pengembara itu dengan penuh iba pada sosok penuh luka itu : “ Mengapa tubuhmu penuh luka seperti itu? Apakah karena segala rintangn yang ada tadi? Tidak bisakah engkau sehebat aku karena aku bisa melewatinya tanpa luka sedikitpun? Siapakah engkau sebenarnya ? “

Jawab sosok penuh luka itu dengan tatapan penuh kasih : “Aku adalah Tuhanmu. Betapa hatiKu tak mampu menolak untuk menyertaimu dalam perjalanan ini, mengingat betapa inginnya engkau melihat keindahan ini. Ketahuilah, saat engkau harus melewati semak belukar itu, Aku memelukmu erat supaya tak satupun duri merobek kulitmu. Saat kau harus melewati kerikil tajam, maka Aku menggendongmu supaya kakimu tidak tertusuk. Ketika kau memanjat batu licin dan terjatuh, Aku menopangmu dari bawah agar tak satupun tulangmu patah. Ingatkah engkau kembali padaKU ?”

Pengembara itupun terduduk dan menangis tersedu-sedu. Untuk kedua kalinya, Tuhan harus menumpahkan darahNya untuk suatu kebahagiaan.

Kadang, kita lupa bahwa Tuhan selalu menyertai dan melindungi kita. Kita lebih mudah ingat betapa hebatnya diri kita yang mampu melampaui segala rintangan tanpa menyadari bahwa Tuhan bekerja di sana. Dan sekali lagi, Tuhan harus berkorban untuk keselamatan kita. Maka, seperti Tuhan yang tak mampu menolak untuk menyertai anakNya, dapatkah kita juga tak mampu menolak segala kasihNya dalam perjalanan hidup kita dan membiarkan tanganNya bekerja dalam hidup kita?

Kupu Kupu dan Kaktus


Suatu ketika seorang lelaki mohon kepada Tuhan sekuntum bunga dan seekor kupu-kupu namun Tuhan malah memberinya sebonggol kaktus .... dan seekor ulat.

Alangkah sedihnya lelaki itu, ia tak mengerti kenapa permintaannya keliru. Pikirnya, "Oh, Tuhan masih banyak tugas mengurus orang-orang lain ...". Dan dia memutuskan tidak akan mempertanyakannya lagi.

Setelah beberapa waktu, si lelaki memeriksa kembali permintaan yang telah lama dilupakannya. Betapa terkejutnya dia, dari sebonggol tanaman kaktus berduri dan jelek itu tumbuhlah sekuntum bunga yang elok. Dan ulat yang menjijikkan telah berubah menjadi kupu-kupu yang sangat cantik. TUHAN selalu melakukan yang terbaik! Cara-NYA SELALU paling baik, walaupun bagi kita kelihatannya tidak baik. Jika Anda memohon sesuatu kepada Tuhan dan ternyata yang diterima berbeda, PERCAYALAH!! Yakinlah bahwa DIA akan selalu memberikan kebutuhanmu pada saat yang tepat. Apa yang Anda inginkan ...tidak selalu sesuai dengan kebutuhan! Tuhan takkan pernah serta merta mengabulkan doa kita. Teruslah khusuk berdoa untuk-NYA tanpa ragu dan menggerutu.

Harta Warisan


Dua bersaudara dari keluarga yang berkecukupan. Setelah kematian kedua orang tuanya, mereka kini harus membagi harta warisan yang ditinggalkan. Namun setelah harta tersebut dibagikan, kedua bersaudara ini tidak pernah hidup rukun dan damai. Sang kakak menuding bahwa adiknya mewarisi lebih banyak dari yang dimilikinya. Sang adik juga menuding hal yang sama terhadap kakaknya, bahwa sang kakak memiliki harta warisan lebih banyak dari yang diwarisinya. Keduanya saling menuding bahwa pembagian harta tersebut tidaklah adil dan seimbang.

Mereka sudah melewati berbagai proses hukum, namun tetap saja persoalan mereka tak dapat diatasi secara memuaskan. Semua nasihat tak pernah berhasil. Semua keputusan seakan tawar. Keduanya tak dapat menerima semua nasihat dan keputusan yang diberikan.

Setelah mencari dan mencari akhirnya mereka menemukan seorang guru yang bijak. Kedua bersaudara tersebut datang ke hadapannya dengan harapan bahwa duri yang selama ini menusuk daging dan menghancurkan hubungan persaudaraan mereka dapat dikeluarkan.

Sang bijak bertanya kepada sang kakak, "Anda yakin bahwa harta yang dimiliki adikmu melebihi warisan yang engkau terima?" Sang kakak dengan penuh yakin menjawab, "Sungguh demikian!"

Sang bijak lalu berpaling kepada sang adik dan mengulangi pertanyaan yang sama, "Anda yakin bahwa kakakmu mewarisi harta peninggalan orang tua lebih dari pada yang anda peroleh?" Dengan keyakinan yang sama sang adik menjawab, "Ya demikianlah!"

Sang bijak lalu memberikan sebuah perintah kepada keduanya, "Kumpulkan semua harta yang telah diterima masing-masing dan serahkan itu kepada yang lain." Sang kakak menyerahkan semua harta warisan yang diperolehnya kepada adiknya, demikian pula sang adik menyerahkan harta warisan yang diperolehnya kepada sang kakak. Dan sejak itu tak ada lagi pertentangan karena harta warisan di antara mereka berdua.

Kita senantiasa mengira bahwa nasib orang lain selalu lebih baik dari diri sendiri, bahwa orang lain lebih diberkati Tuhan dari pada diri kita sendiri. Kita lupa bahwa Tuhan mencintai setiap insan dengan cinta yang sama. Kita mungkin hanya mampu melihat berkat yang kelihatan yang dimiliki orang lain, namun lupa untuk melihat berkat-berkat berlimpah yang diberikan Tuhan atas diri kita namun sulit dilihat oleh kasat mata.

Lihatlah dirimu dari sudut pandangan yang lain, maka anda akan dipenuhi keharuan dan rasa syukur yang mendalam. Tuhan mencintaimu!

Dilarang Memancing


Alkisah ada sebuah legenda mengenai seorang pendeta di sebuah paroki kecil di daerah Midwestern yang sebagai seorang muda telah melakukan apa yang menurutnya adalah sebuah dosa yang amat besar. Sekalipun ia telah meminta pengampunan Tuhan, sepanjang hidupnya ia menanggung beban dari dosanya itu. Sekalipun ia telah menjadi seorang pendeta, ia tetap tak dapat dengan tuntas meyakini bahwa Tuhan telah mengampuninya. Tetapi ia mendengar mengenai seorang wanita tua dijemaatnya yang kadangkala mendapatkan penglihatan. Di saat mendapat penglihatan tersebut, sang wanita seringkali saling berkata-kata dengan Tuhan.

Suatu hari sang pendeta berhasil mendapat cukup keberanian untuk mengunjungi wanita tersebut.Sang wanita mempersilahkannya masuk dan menyuguhkan secangkir teh. Pada akhir kunjungannya, si pendeta menaruh cangkirnya diatas meja dan memandang pada sang wanita.

"Benarkah kadang kala ibu mendapat penglihatan?" tanyanya.

"Ya", ia menjawab.

"Apakah juga benar, bahwa saat penglihatan tersebut, ibu seringkali berkata-kata dengan Tuhan?"

"Ya", jawabnya.

"Mmm... jika anda mendapatkan penglihatan lagi dan berkata-kata dengan Tuhan, maukah ibu tanyakan satu pertanyaan bagi saya?"

Sang wanita memandang sedikit heran pada si pendeta. Belum pernah ia mendapat permintaan seperti itu. "Ya, dengan senang hati," jawabnya. "Apa yang bapak ingin saya tanyakan?"

"Mmm.." sang pendeta memulai, "Tolong tanyakan pada Tuhan, dosa apakah yang pernah dilakukan pendetanya ini di masa mudanya."

Sang wanita, benar-benar heran sekarang, segera saja setuju. Beberapa minggupun berlalu, dan sang pendeta sekali lagi mengunjungi wanita itu. Setelah menikmati secangkir teh, dengan hati-hati dan malu-malu ia bertanya, "Sudahkah ibu mendapatkan penglihatan baru-baru ini?"

"Oh ya, saya mendapatkannya", jawab sang wanita.

"Apakah anda saling berkata-kata dengan Tuhan?"

"Ya."

"Apakah ibu bertanya kepada Tuhan dosa apakah yang pernah saya lakukan dimasa muda saya?"

"Ya," sang wanita menjawab, "saya menanyakannya."

Sang pendeta, gelisah dan takut, ragu-ragu sejenak dan kemudian bertanya, "Lalu,apa yang Tuhan katakan?"

Sang wanita mengangkat wajahnya dan memandang si pendeta dan kemudian menjawab dengan lembut, "Tuhan mengatakan Ia tidak dapat lagi mengingatnya."

Tuhan tidak hanya mengampuni dosa, Ia juga memilih untuk melupakannya. Alkitab menyatakan pada kita bahwa Ia mengambil dosa-dosa kita dan membenamkannya di bagian laut yang terdalam. Dan kemudian, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Corrie ten Boom, "Sesudah itu ia memasang sebuah papan bertuliskan, 'Dilarang Memancing'."

Jika Tuhan mengampuni kita, dapatkah kita melakukan sesuatu yang kurang dari itu ?

Anak Katak dan Hujan


Ada kegundahan tersendiri yang dirasakan seekor anak katak ketika langit tiba-tiba gelap. "Bu, apa kita akan binasa. Kenapa langit tiba-tiba gelap?" ucap anak katak sambil merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut.

"Anakku," ucap sang induk kemudian. "Itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru, itu tanda baik." jelas induk katak sambil terus membelai. Dan anak katak itu pun mulai tenang.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai berterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil. "Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu? " tanya si anak katak sambil bersembunyi di balik tubuh induknya.

"Anakku. Itu cuma angin," ucap sang induk tak terpengaruh keadaan. "Itu juga pertanda kalau yang kita tunggu pasti datang!" tambahnya begitu menenangkan. Dan anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan.

"Blarrr!!!" suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Kali ini, si anak katak tak lagi bisa bilang apa-apa. Ia bukan saja merangkul dan sembunyi di balik tubuh induknya. Tapi juga gemetar. "Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!" ucapnya sambil terus memejamkan mata.

"Sabar, anakku!" ucapnya sambil terus membelai. "Itu cuma petir. Itu tanda ketiga kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang," ungkap sang induk katak begitu tenang.

Anak katak itu mulai keluar dari balik tubuh induknya. Ia mencoba mendongak, memandangi langit yang hitam, angin yang meliuk-liukkan dahan, dan sambaran petir yang begitu menyilaukan. Tiba-tiba, ia berteriak kencang, "Ibu, hujan datang. Hujan datang! Horeeee!"

Anugerah hidup kadang tampil melalui rute yang tidak diinginkan. Ia tidak datang diiringi dengan tiupan seruling merdu. Tidak diantar oleh dayang-dayang nan rupawan. Tidak disegarkan dengan wewangian harum.

Saat itulah, tidak sedikit manusia yang akhirnya dipermainkan keadaan. Persis seperti anak katak yang takut cuma karena langit hitam, angin yang bertiup kencang, dan kilatan petir yang menyilaukan. Padahal, itulah sebenarnya tanda-tanda hujan.

Benar apa yang diucapkan induk katak: jangan takut melangkah, jangan sembunyi dari kenyataan, sabar dan hadapi. Karena hujan yang ditunggu, jika TUHAN berkehendak pasti akan datang bersama kesukaran ada kemudahan. Sekali lagi, bersama kesukaran ada kemudahan.

Ikan Cod dan Catfish


Bertahun-tahun yang lalu, menjala ikan cod di daerah timur laut menjadi sebuah bisnis komersial yang sangat besar. Industri perikanan mengakui bahwa ada sebuah pasar besar bagi ikan Cod di seluruh Amerika, tetapi mereka mempunyai masalah besar didalam pendistribusiannya. Awalnya mereka hanya membekukan ikan itu, seperti yang mereka lakukan pada semua produk mereka yang lain, dan mengapalkannya ke seluruh negeri. Tetapi untuk alasan-alasan tertentu, setelah ikan cod itu dibekukan, ikan tersebut kehilangan rasa khasnya. Jadi para pemilik memutuskan untuk mengapalkan ikan-ikan dalam tangki-tangki besar yang diisi dengan air laut segar. Mereka mengira bahwa pastilah itu akan menyelesaikan masalah tersebut dan menjaga kesegaran ikan.Tetapi mereka kecewa, karena proses ini hanya membuat masalah menjadi semakin buruk. Karena ikan itu tidak aktif dalam tangki, sehingga menjadi lunak dan seperti bubur, dan sekali lagi ikan-ikan itu kehilangan rasa khasnya.

Suatu hari, seseorang memutuskan untuk menaruh beberapa catfish (ikan kucing) dalam tangki dengan ikan cod. Catfish adalah musuh alami ikan cod, jadi sementara tangki itu berjalan ke seluruh negeri, ikan cod tersebut harus tetap waspada dan aktif serta berjaga-jaga terhadap catfish tersebut. Luarbiasanya, saat tangki tersebut tiba ditujuan, ikan cod itu masih sesegar dan selezat saat mereka masih berada di daerah timur laut.

Seperti catfish tersebut, mungkin kesukaran Anda ditaruh ke atas jalan kehidupan Anda untuk suatu maksud. Mungkin kesukaran itu ditaruh disana untuk menantang Anda, menajamkan Anda, membuat Anda tetap segar, menjaga Anda tetap hidup, aktif, serta bertumbuh.

Memang, kadang-kadang rasanya seolah-olah Anda disertai seekor ikan hiu putih besar dalam tangki tersebut, bukannya seekor catfish, tetapi kesukaran yang sedang Anda hadapi bisa saja merupakan sesuatu yang Tuhan sedang pakai untuk mendorong dan menantang Anda supaya menjadi yang terbaik. Pencobaan itu adalah ujian bagi iman, karakter, dan kesabaran Anda.

Jangan menyerah. Jangan berhenti. Jangan merengek dan mengeluh. Sebaliknya berdirilah teguh dan lakukanlah perjuangan iman yang baik.

Melayani Raja Segala Raja


Seorang pegolf terkenal diundang raja Saudi Arabia untuk bermain dalam sebuah turnamen golf. Pegolf tersebut menerima undangan itu, dan sang raja menerbangkan pesawat jet pribadinya ke Amerika serikat untuk menjemput pegolf profosional tersebut. Mereka bermain golf selama beberapa hari, dan menikmati saat menyenangkan. Sementara pegolf itu naik keatas pesawat untuk kembali ke Amerika Serikat, sang raja menghentikannya dan berkata, “ Saya ingin memberikan kepada Anda sebuah hadiah karena Anda sudah mau datang sejauh ini dan membuat waktu ini begitu istimewa. Apapun yang Anda inginkan, apakah yang dapat saya berikan kepada Anda?”

Karena selalu bersikap sopan, pegolf itu menjawab, “Oh, mohon jangan berikan saya apapun. Anda telah begitu ramah kepada saya. Saya telah mengalami waktu yang menyenangkan. Saya tidak dapat meminta apapun lagi."

Sang raja bersikeras. Ia berkata, “Tidak, saya bersikeras memberikan kepada Anda sesuatu supaya Anda selalu mengingat perjalanan Anda ke negeri kami.”

Saat pegolf itu menyadari bahwa raja itu memang bersikeras, ia berkata, “Baiklah, baik. Saya mengoleksi tongkat golf. Mengapa Anda tidak memberikan saja saya sebatang tongkat golf ?”

Ia naik pesawat dan pada perjalanan pulang, ia tidak bisa tidak bertanya-tanya tongkat golf seperti apa yang akan diberikan raja itu kepadanya. Ia membayangkan bahwa itu adalah sebatang tongkat golf yang terbuat dari emas murni dengan ukiran namanya. Atau mungkin tongkat yang bertatahkan berlian dan permata. Lagipula, ini akan merupakan sebuah hadiah dari raja Saudi Arabia yang kaya minyak.

Saat pegolf itu tiba dirumah, ia memperhatikan kotak pos dan layanan paket setiap hari, untuk melihat jika tongkat golfnya sudah datang. Akhirnya, beberapa minggu kemudian, ia menerima sepucuk surat dari raja Saudi Arabia itu. Pegolf profesional Amerika tersebut mengira bahwa hal itu aneh.

“Dimana tongkat golfku?” ia bertanya-tanya.

Ia membuka sampulnya dan dengan terkejut, ia menemukan di dalamnya selembar akte tanah lapangan golf seluas 232 hektar di Amerika.

Kadang-kadang Tuhan berpikir lain dari Anda dan saya. Dan teman-teman, kita melayani Raja segala raja. Kita melayani Tuhan yang Mahatinggi, dan impian-Nya bagi kehidupan Anda jauh lebih besar dan baik dibanding yang bahkan dapat Anda bayangkan

Kisah Penatah Batu


Pada suatu ketika hiduplah seorang penatah batu. Setiap hari ia pergi ke gunung untuk menatah batu. Selagi bekerja, ia bersenandung. Meskipun ia adalah orang miskin, ia tidak menginginkan lebih dari pada yang ia miliki, sehingga ia tidak merisaukan dunia.

Suatu hari ia dipanggil untuk bekerja di rumah seorang bangsawan. Ketika melihat keindahan rumah sang bangsawan, untuk pertama kali dalam hidupnya ia mengalami rasa sakit yang timbul dari suatu keinginan. Ia berkata sambil menghela nafas panjang, "Seandainya saja saya kaya, tidak harus bekerja mencari nafkah dengan bercucuran keringat seperti sekarang ini."

Bayangkan, betapa ia keheranan ketika mendengar suara, "Keinginanmu dikabulkan. Mulai sekarang keinginan apapun yang kaupunyai akan dikabulkan." Ia tidak tahu arti kata-kata itu sampai ia pulang ke pondoknya pada sore hari, ia mendapati rumah besar yang indah seperti yang diidamkannya. Ia berhenti dari pekerjaannya sebagai tukang batu dan menikmati hidup sebagai orang kaya.

Suatu hari, ia melihat Raja lewat, diiringi pengawal dan budak-budak serta dayang-dayang. Ia berpikir, "Saya ingin menjadi Raja, duduk dalam kereta kerajaan yang megah." Keinginannya segera terkabul, ia dengan segera duduk dalam kereta kerajaan yang megah, dengan pengawal-pengawal dan dayang-dayang, tetapi cuaca hari itu sangat panas. Ia melihat keluar dan kagum akan kekuatan matahari yang memancarkan panasnya ke bumi. "Saya ingin menjadi matahari," katanya. Sekali lagi keinginannya dikabulkan. Ia menjadi matahari yang memancarkan panas ke jagat raya.

Pada musim hujan, sang matahari berusaha untuk menerobos segumpal awan tapi tidak berhasil. Maka ia mengubah diri menjadi awan dan berjaya dalam kekuatannya mampu menahan panas matahari, sampai ia menjadi hujan dan berjumpa dengan karang yang tegar.

"Apa ini? Karang lebih kuat dari saya? Kalau begitu saya ingin menjadi karang."

Demikianlah terjadi, ia berdiri tegak menjulang di lereng gunung, tetapi kemudian ia mendengar suara memecah yang aneh di bawahnya. Ia melihat dengan kecewa karena ia melihat manusia bekerja menatah bongkahan batu darinya.

Akhirnya ia kembali menjadi seorang manusia, penatah batu kembali, dengan hati penuh senandung karena ia merasa bahagia dengan apa ia miliki.

Pelayan Yang Baik Hati


Bertahun-tahun dahulu, pada malam hujan badai, seorang laki-laki tua dan istrinya masuk ke sebuah lobby hotel kecil di Philadelphia. Mencoba menghindari hujan, pasangan ini mendekati meja resepsionis untuk mendapatkan tempat bermalam.

"Dapatkan anda memberi kami sebuah kamar disini ?" tanya sang suami.

Sang pelayan, seorang laki-laki ramah dengan tersenyum memandang kepada pasangan itu dan menjelaskan bahwa ada tiga acara konvensi di kota.

"Semua kamar kami telah penuh," pelayan berkata. "Tapi saya tidak dapat mengirim pasangan yang baik seperti anda keluar kehujanan pada pukul satu dini hari. Mungkin anda mau tidur di ruangan milik saya ? Tidak terlalu bagus, tapi cukup untuk membuat anda tidur dengan nyaman malam ini."

Ketika pasangan ini ragu-ragu, pelayan muda ini membujuk. "Jangan khawatir tentang saya. Saya akan baik-baik saja," kata sang pelayan. Akhirnya pasangan ini setuju.

Ketika pagi hari saat tagihan dibayar, laki-laki tua itu berkata kepada sang pelayan, "Anda seperti seorang manager yang baik yang seharusnya menjadi pemilik hotel terbaik di Amerika. Mungkin suatu hari saya akan membangun sebuah hotel untuk anda." Sang pelayan melihat mereka dan tersenyum. Mereka bertiga tertawa. Saat pasangan ini dalam perjalanan pergi, pasangan tua ini setuju bahwa pelayan yang sangat membantu ini sungguh suatu yang langka, menemukan sesorang yang ramah bersahabat dan penolong bukanlah satu hal yang mudah.

Dua tahun berlalu. Sang pelayan hampir melupakan kejadian itu ketika ia menerima surat dari laki-laki tua tersebut. Surat tersebut mengingatkannya pada malam hujan badai dan disertai dengan tiket pulang-pergi ke New York, meminta laki-laki muda ini datang mengunjungi pasangan tua tersebut. Laki-laki tua ini bertemu dengannya di New York, dan membawa dia ke sudut Fifth Avenue and 34th Street. Dia menunjuk sebuah gedung baru yang megah di sana, sebuah istana dengan batu kemerahan, dengan menara yang menjulang ke langit.

"Itu," kata laki-laki tua, "adalah hotel yang baru saja saya bangun untuk engkau kelola".

"Anda pasti sedang bergurau," jawab laki-laki muda.

"Saya jamin, saya tidak," kata laki-laki tua itu, dengan tersenyum lebar.

Nama laki-laki tua itu adalah William Waldorf Astor, dan struktur bangunan megah tersebut adalah bentuk asli dari Waldorf-Astoria Hotel.

Laki-laki muda yang kemudian menjadi manager pertama adalah George C. Boldt. Pelayan muda ini tidak akan pernah melupakan kejadian yang membawa dia untuk menjadi manager dari salah satu jaringan hotel paling bergengsi di dunia.

Pelajarannya adalah; perlakukanlah semua orang dengan kasih, kemurahan dan hormat, dan anda tidak akan gagal.

"Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu,jika kamu melakukannya." (Yohanes 13:13-17)

"Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan." (Lukas 22:26)

Anda Berharga Di Mata Tuhan


Suatu hari seorang penceramah terkenal membuka seminarnya dengan cara yang unik.

Sambil memegang uang pecahan Rp. 100.000,00.- ia bertanya kepada hadirin,"Siapa yang mau uang ini?"

Tampak banyak tangan diacungkan. Pertanda banyak minat.

"Saya akan berikan ini kepada salah satu dari Anda sekalian,tapi sebelumnya perkenankanlah saya melakukan ini."

Ia berdiri mendekati hadirin. Uang itu diremas-remas dengan tangannya sampai berlipat2.

Lalu bertanya lagi, "Siapa yang masih mau uang ini?"

Jumlah tangan yang teracung tak berkurang.

"Baiklah," jawabnya, "Apa jadinya bila saya melakukan ini?" ujarnya sambil menjatuhkan uang itu ke lantai dan menginjak-injaknya dengan sepatunya.

Meski masih utuh, kini uang itu jadi amat kotor dan tak mulus lagi.

"Nah, apakah sekarang masih ada yang berminat?"

Tangan-tangan yang mengacung masih tetap banyak.

"Hadirin sekalian, Anda baru saja menghadapi sebuah pelajaran penting. Apapun yang terjadi dengan uang ini, anda masih berminat karena apa yang saya lakukan tidak akan mengurangi nilainya. Biarpun lecek dan kotor, uang itu tetap bernilai Rp. 100.000,00.-

Dalam kehidupan ini kita pernah beberapa kali terjatuh, terkoyak, dan berlepotan kotoran akibat keputusan yang kita buat dan situasi yang menerpa kita. Dalam kondisi seperti itu, kita merasa tak berharga, tak berarti. Padahal apapun yang telah dan akan terjadi, Anda tidak pernah akan kehilangan nilai di mata mereka yang mencintai Anda, terlebih di mata Tuhan.

Friday, September 10, 2010

Hati ALLAH Yang Hancur


Setelah satu minggu yang panjang mengajar dan memberi konseling di Norwegia, saya merasa "jenuh kepada orang".Saya menyukai pekerjaan saya, tetapi pada akhir minggu setelah setiap harinya melayani selama 18 jam, Saya sungguh ingin menyendiri. Ketika turun dari taksi di muka bandar udara internasional Oslo, diam-diam saya menaikkan sebuah doa.Permintaan saya sederhana sekali:yang saya inginkan hanyalah sebuah tempat duduk sendirian di pesawat, dengan ruang yang cukup luas untuk meluruskan kaki saya yang panjang(tinggi saya 1,8 meter lebih) dan beristirahat sepanjang penerbangan pulang ke Amsterdam yang memakan waktu 3 jam.

Berjalan menelusuri lorong pesawat, dengan agak membungkuk supaya kepala saya tidak membentur langit-langitnya, saya menemuka sebaris tempat duduk yang kosong dekat pembatas, itu berarti saya punya ruang ekstra bagi kaki saya dan suatu penerbangan yang tenang. Saya tersenyum sendiri ketika saya membalikkan tubuh untuk duduk di kursi pinggir dekat lorong, dan berpikir alangkah baiknya Tuhan, menjawab permintaan saya untuk memperoleh sedikit ketenangan dan istirahat. "Tuhan mengerti betapa lelahnya saya," pikir saya.

Ketika saya meletakkan tas saya di bawah kursi di depan, seorang pria yang berpakaian sedikit kumal mendekat sambil tersenyum dan menyapa saya dengan suara keras: "Hei! Orang Amerika ya?"

"Ya...ya benar," jawab saya dengan enggan.Saya mengambil tempat duduk di dekat lorong karena berpikir bahwa orang yang ingin duduk di sebelah saya tentu mengalami sedikit kesulitan sebab harus melewati kaki saya yang panjangnya! Orang itu duduk di barisan belakang saya, tetapi saya tidak menaruh perhatian kepadanya dan mulai membaca.

Beberapa menit kemudian, kepala laki-laki itu muncul dari samping.

"Baca apa?" tanyanya sambil mengintip dibalik pundak saya.

"Alkitab," jawab saya agak tidak sabar. Apakah ia tidak melihat bahwa saya tidak ingin diganggu? Saya kembali bersandar ke belakang, tetapi beberapa menit kemudian mata yang sama kembali muncul dari balik kursi saya. "Apa pekerjaan Anda? katanya.

Karena tidak mau terlibat dalam percakapan panjang, saya menjawab dengan singkat, "Sejenis pekerjaan sosial," kata saya dengan harapan ia tidak tertarik.

Saya merasa sedikit terganggu karena sudah tidak menceritakan yang sebenarnya, tetapi saya tidak berani mengatakan bahwa saya terlibat dalam membantu orang yang sengsara di jantung kota Amsterdam. Hal itu pasti akan memancing pertanyaan-pertanyaan lain.

"Boleh saya duduk di sebelah Anda?" ia bertanya sambil melangkahi kaki-kaki saya.Tampaknya ia mengabaikan usaha saya untuk tidak mengobrol dengannya. Mulutnya bau alkohol dan ludahnya memercik ketika ia berbicara, membasahi muka saya seperti hujan gerimis.

Sikapnya yang menjengkelkan itu membuat saya amat kesal.Ketidakpekaannya telah menggagalkan semua rencana saya untuk menikmati pagi yang tenang ini. "Oh Tuhan," saya mengeluh dalam hati, "Tolonglah saya"

Percakapan kami mulanya berjalan dengan lamban. Saya menjawab beberapa pertanyaan tentang pekerjaan kami di Amsterdam dan saya mulai bertanya-tanya mengapa laki-laki ini sangat ingin berbicara dengan saya. Ketika percakapan semakin berlanjut, saya mulai sadar bahwa sayalah yang kurang peka.

"Isteri saya seperti Anda," katanya kemudian. "Ia berdoa bersama anak-anak, menyanyikan lagu untuk mereka dan mengajak mereka ke gereja. "Sesungguhnya", katanya perlahan dengan mata yang mulai basah, "Dialah satu-satunya kawan sejati yang pernah saya punyai"

"Pernah?" tanya saya. "Mengapa Anda berkata tentangnya seperti itu?"

"Dia telah pergi." Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Ia meninggal tiga bulan yang lalu ketika melahirkan anak kami yang kel lima."Mengapa?", tanyanya dengan terisak, "mengapa Allahmu mengambilnya pergi?Isteri saya begitu baik.Mengapa bukan saya?Mengapa justru dia?Sekarang pemerintah mengatakan saya tidak cocok untuk mengurus anak-anak saya sendiri, dan mereka juga pergi."

Saya memegangi tangannya dan kami menangis bersama. Betapa egoisnya saya! Saya hanya memikirkan kebutuhan saya untuk beristirahat padahal laki-laki ini sangat membutuhkan pertolongan.

Ia melanjutkan kisahnya pada saya. Setelah isterinya meninggal, seorang pekerja sosial menganjurkan agar anak-anaknya di urus oleh negara. Ia begitu sedih sehingga tidak dapat bekerja, dan iapun kehilangan pekerjaannya. Hanya dalam beberapa minggu ia kehilangan isterinya, anak-anaknya dan pekerjaannya. Karena liburan tinggal beberapa minggu lagi, ia tidak tahan untuk merayakan natal seorang diri. Sekarang ia sedang berusaha menghilangkan kesedihannya.

Ia terlalu pahit untuk dihibur. Ia telah dibesarkan oleh empat ayah tiri yang berbeda dan ia tidak pernah mengenal ayahnya yang sebenarnya. Mereka semua adalah laki-laki yang keras. Ketika saya menyinggung Allah, ia bereaksi dengan pahit, "Allah?" katanya, "Saya pikir kalau memang ada Allah, Dia pasti monster yang kejam! Bagaimana mungkin Allah yang penuh kasih melakukan ini terhadapku?"

Ketika saya meneruskan pembicaran dengan orang yang terluka itu, Saya diingatkan kembali bahwa banyak orang di dunia ini yang tidak mengerti akan Allah yang merupakan seorang bapa yang penuh kasih. Berbicara tentang allah Bapa yang penuh kasih hanya akan menimbulkan kepedihan dan kemarahan dalam hati mereka. Berbicara mengenai hati Allah sebagai bapa kepada mereka, tanpa merasakan kepedihan mereka, hampir sama dengan suatu tindakan kejam.

Satu-satunya cara saya dapat menjadi kawan laki-laki itu dalam perjalanan dari Oslo ke Amsterdam ialah dengan menjadi kasih Allah baginya. Saya tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sempurna. Saya hanya membiarkannya marah lalu menawarkan minyak belas kasihan bagi luka-lukanya. Ia ingin percaya kepada Allah, tetapi jauh d idalam hatinya, rasa keadilannya telah diperkosa.

Ia membutuhkan seseorang yang dapat mengatakan bahwa tidak apa ia marah dan mengatakan kepadanya bahwa Allah juga marah terhadap ketidakadilan. Setelah Saya mendengarkannya dan mempedulikannya serta menangis bersamanya, ia siap mendengarkan kata-kata saya bahwa Allah lebih sedih daripada dirinya atas apa yang telah terjadi dengan isteri dan keluarganya.

Tak ada seorangpun yang pernah mengatakan kepadanya bahwa Allah juga mengenal; kepedihan hati yang hancur.

Ia mendengarkan dengan diam sementara saya jelaskan bagaimana ciptaan Allah begitu rusak karena dosa dan sikap egois, sehingga kini menjadi berbeda seluruhnya dari apa yang ia ciptakan semula.

Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang kita semua pernah menanyakannya: Mengapa? Mengapa Dia menciptakan sesuatu yang dapat jatuh dan menjadi rusak? Jika ia adalah Bapa yang penuh kasih, mengapa ia ijinkan segala penderitaan itu?

Kemudian saya membagikan beberapa jawaban yang telah menolong saya.

Banyak orang tidak dapat memahami bahwa ada Allah yang baik tetapi mengijinkan penderitaan. Namun jika tidak ada Allah yang berkepribadian kekal, penderitaan manusia kehilangan arti sama sekali. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah suatu produk yang kompleks dari suatu waktu dan kebetulan. Hanya merupakan suatu akibat dari proses evolusi. Jika itu benar, maka penderitaan hanyalah suatu masalah yang bersifat fisik dan kimiwai.

Jika tidak ada Allah, tidak akan ada kemurnian moral, dan tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa setiap bentuk penderitaan adalah salah secara moral.

Dengan menyangkal eksistensinya, manusia menyangkal arti kehidupan itu sendiri dan karenanya juga menyangkal dasar dari perkataan bahwa tidaklah benar bagi manusia untuk menderita.

Tanpa Allah kita bahkan tidak dapat mengajukan pertanyaan, "Mengapa orang yang tidak bersalah menderita?" karena tidak ada yang disebut tidak bersalah.

Tidak bersalah mengandung arti salah, dan salah menyatakan secara tidak langsung bahwa ada hal-hal yang mutlak tidak benar secara moral.

Saya percaya menderita itu salah, dan fakta bahwa Allah itu ada mengijinkan saya untuk mengatakannya dengan tegas. Namun penegasan itu membawa kita kepada pertimbangan lain yang penting. Bagaimana perasaan Allah terhadap penderitaan dan kejahatan di dalam ciptaanNya. Alkitab berkata bahwa Dia sangat berduka di dalam hatinya. (Kejadian 6:5-6)