Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.( Yohanes 15 : 16 )

Sunday, January 30, 2011

LILIN Kecil


Ada sebuah kisah tentang lilin kecil yang dibawa oleh seorang pria menaiki tangga yang cukup tinggi, menuju sebuah menara. Di dalam perjalanan mereka menaiki tangga tersebut, sililin kecil bertanya Kepada pria yang membawanya, "Kita hendak kemana?"

"Kita akan naik lebih tinggi dan akan memberi petunjuk Kepada kapal-kapal besar di tengah lautan yang luas."

"Apa? Mana mungkin aku bisa memberi petunjuk Kepada kapal-kapal besar dengan cahayaku yang sangat kecil? Kapal-kapal besar itu tidak akan bisa melihat cahayaku," jawab lilin kecil lemah.

"Itu bukan urusanmu. Jika nyalamu memang kecil, biarlah. Yang harus engkau lakukan adalah tetap menyala dan urusan selanjutnya adalah tugasku," jawab pria itu.

Tidak lama sampailah mereka di puncak menara dimana terdapat lampu yang sangat besar dgn kaca pemantul yang tersedia di belakangnya. Pria itu menyalakan lampu besar dengan memakai nyala lemah si lilin kecil. Dalam sekejap, tempat itu memantulkan sinar yang terang benderang sehingga kapal-kapal yang ada di tengah laut melihat cahayanya.

Dengan keberadaan dan keterbatasan kita, memang kita tidak akan sanggup melakukan sesuatu yang berarti. Tetapi satu hal yang harus anda ingat, bahwa hidup anda seumpama "lilin kecil"yang ada di tangan Allah yang perkasa. Segala kemampuan dan keahlian anda hanya akan tetap seperti nyala lilin kecil jika anda tidak menaruh hidup anda di dalam tangan Allah untuk Ia pakai menjadi alatNya yang mulia.

Sebaliknya walaupun nyala anda sangat kecil bahkan mungkin redup, tapi jika Anda mempercayakan seluruh keberadaan anda kepada Allah, maka Ia sanggup menjadikan nyala kecil anda menjadi nyala besar yang membawa manfaat besar bagi banyak orang.

Bahkan bukan tidak mungkin Yosua yang adalah abdi Musa itu merasakan sedikit gentar di dalam hatinya ketika Allah memerintahkan kepadanya utk memimpin bangsa Israel merebut tanah Kanaan. Allah menghibur dan menguatkan dia bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. Allah menjanjikan kemenangan demi kemenangan bagi dia.

Allah hanya meminta kepadanya, "Kuatkan dan teguhkanlah hatimu dan jangan menyimpang dari seluruh hukum yang telah diperintahkan Kepadamu" (Yosua1:7)

Jangan memandang ketidakmampuan, keterbatasan, dan kelemahan anda. Jika Allah mempercayakan sesuatu Kepada Anda entah itu suatu pekerjaan besar ataupun suatu pelayanan, percayalah bahwa Anda ada di tangan Allah yang perkasa. Dia akan memakai anda sesuai kehendakNya. Kita hanyalah sebagai alatNya.

Ketika kita mempercayakan seluruh keberadaan kita kepada Allah, maka anda akan melihat bagaimana Ia memakai hidup Anda dan tidak mustahil keterbatasan Anda menjadi berkat yang besar!

Pengorbanan Bapa


Seperti biasanya setelah beberapa nyanyian pujian pada Kebaktian Minggu petang, Pendeta gereja itu per-lahan-lahan berdiri dan berjalan menuju mimbar. Namun kali ini sebelum ia memulai kotbahnya, secara singkat ia memperkenalkan seorang Pendeta tamu yang hadir pada Kebaktian petang itu.

Dalam ucapan perkenalan itu si Pendeta menyebutkan bahwa Pendeta tamu tersebut adalah teman karibnya sewaktu ia masih kanak-kanan dan ia meminta kepadanya untuk memperkenalkan dirinya kepada. Jemaat dan berbagi sedikit pengalaman yang mungkin bermanfaat untuk disampaikan dalam Kebaktian petang itu. Kemudian Pendeta tua itu mengayunkan langkahnya menuju keatas mimbar dan mulai berbicara.

"Seorang ayah dan anaknya serta seorang teman dari anaknya itu pergi berlayar di Pantai Lautan Pasifik, ketika angin topan dahsyat menghalangi usaha mereka untuk kembali ketepi pantai," demikian ia memulai ceritanya. "Gelombang ombak sedemikian besar dan kerasnya membuat sang ayah yang walaupun adalah seorang pelaut yang handal, tidak dapat menguasai kapal layarnya lagi dan kapal itupun terbalik menenggelamkan mereka bertiga ke dalam air."
Pendeta tua itu berhenti sejenak dan beradu pandangan dengan 2 orang anak remaja duduk didepan mimbar yang sejak mulai Kebaktian kelihatannya sangat tertarik dengan ceritanya.

Pendeta tua itu mulai meneruskan ceritanya, "Dengan memegang pelampung penyelamat bertali, sang ayah harus membuat keputusan yang paling krusial dalam hidupnya: kepada siapa ujung tali pelampung itu harus di lemparkan. Ia hanya mempunyai beberapa detik untuk memutuskan. Sang ayah tahu bahwa anaknya adalah seorang Kristen sedangkan teman anaknya itu bukan."

Gelombang yang ganas tidak dapat lama menunggu keputusan sang ayah sehingga ia segera melemparkan ujung tali pelampung itu kepada teman anaknya sambil berteriak, 'Anakku, aku mencintaimu, nak!' Pada saat sang ayah menarik teman anaknya itu kembali ke kapal yang terbalik itu, anaknya sendiri sudah menghilang ditelan oleh ganasnya gelombang dimalam yang kelam itu. Dan tubuhnya tidak pernah diketemukan lagi.
Kedua anak remaja yang duduk didepan mimbar tersebut dengan cemas tidak sabar lagi menunggu lanjutan cerita yang keluar dari mulut Pendeta tua itu.

Pendeta tua melanjutkan, sang ayah tahu bahwa anaknya berangkat menuju ketempat kekal bersama dengan Yesus dan ia tidak dapat membayangkan apa jadinya kalau teman anaknya itu yang harus berangkat tidak bersama dengan Yesus. Itulah sebabnya ia mengorbankan anaknya sendiri untuk menolong teman anaknya itu."

"Betapa besarnya kasih Allah sehingga Ia harus melakukan hal yang sama untuk kita. Allah Bapa Surgawi sudah mengorbankan Anak TunggalNya supaya kita bisa diselamatkan. Saya mohon supaya kalian semua bersedia menerima tawaranNya untuk menolong anda dan memegang erat ujung tali pelampung penyelamat yang Dia lemparkan kepada anda dalam kebaktian ini."

Keheningan memenuhi ruangan gereja begitu Pendeta tua tersebut kembali ke tempat dan duduk di kursinya. Setelah kebaktian selesai, kedua anak remaja yang duduk di depan mimbar tadi ndatang menemui Pendeta tua. Salah seorang darinya dengan sopan berkata, "Itu ntadi adalah suatu cerita yang sangat bagus tapi saya rasa tidak realistis karena sangat tidak masuk akal bagi seorang ayah yang rela mengorbankan anaknya sendiri dengan harapan bahwa teman anaknya itu akan menjadi Kristen."

"Yah, mungkin kamu benar dari sudut pandangmu," jawab Pendeta tua itu sambil melirik ke Alkitabnya yang sudah lusuh. Kemudian dengan senyuman yang melebar di wajahnya ia memandang kedua anak remaja itu dan berkata," Nampaknya tidak realistis, bukan? Tetapi saya berdiri di sini hari ini untuk mengatakan kepada kalian bahwa dari pengalaman cerita saya tadi, saya benar-benar tahu bagaimana perasaan dari Allah Bapa yang sudah mengorbankan AnakNya bagi saya. Ketahuilah bahwa... sebenarnya saya ini adalah ayah dari anak dalam cerita saya tadi dan Pendeta kalian disini adalah teman anak saya itu." (TDmail)

"Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkanNya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Roma 8:32)

MOGOK


Lagi-lagi motor butut saya bermasalah. Malam itu saya pulang agak larut. Hujan baru saja selesai mengguyur kota Manado dengan derasnya. Dengan sedikit nekad, saya memacu motor di tengah gerimis yang masih turun malam itu. Semua berlangsung dengan aman dan nyaman, sampai tiba-tiba saja motor saya mati. Di tengah jalan pula.

Gerimis yang terus mengguyur membuat saya memilih berteduh daripada mendorong motor yang mogok. Apalagi rumah masih jauh, sekitar 2-3 km lagi. Jam terus merayap, sementara hujan tidak mau berhenti. Saya hanya bisa duduk termenung menanti hujan reda.

Hampir jam sebelas malam baru hujan benar-benar reda. Saya segera mendorong motor perlahan-lahan, sambil berharap masih ada bengkel yang buka. Dan harapan saya terkabul. Sebuah bengkel motor kelihatan masih buka. Dengan cepat saya mendorong motor memasuki areal bengkel. Tapi sayang, mekaniknya mengatakan bahwa mereka sudah mau tutup. Saya berusaha membujuk, sampai akhirnya mereka menawarkan motor ditinggalkan, nanti akan diperbaiki besok paginya. Langsung saja saya mengiyakan, daripada mendorong motor sejauh 2 km sampai di rumah.

Baru lusanya saya bisa melihat motor saya lagi di bengkel itu. Dan ternyata mesin motor sudah bisa hidup. Setelah membayar biaya perbaikan dan penggantian spare part, saya mencoba bertanya kepada mekanik mengenai kerusakan motor.

"CDI-nya sudah rusak. Motor seperti yang bapak miliki ini agak berbeda dengan motor keluaran terbaru. Motor generasi ini sangat membutuhkan kontak dengan aki. Jika kontak dengan aki putus atau aki kehabisan daya, maka CDI-lah yang akan dihantam. Memang masih bisa jalan selama beberapa waktu, tapi kalau dibiarkan terus, lama-lama CDI yang akan rusak dan motor pasti mogok," begitu penjelasan singkat mekaniknya kepada saya.

Saat mengendarai motor pulang, saya merenungkan penjelasan mekanik di bengkel motor itu. Setiap orang percaya sangat membutuhkan hubungan yang akrab dengan Bapa Sorgawi. Jika kontak dengan Bapa Sorgawi terputus, lambat laun kehidupan kita pasti akan hancur. Memang kita mungkin masih bisa melanjutkan kehidupan. Kita masih bisa menghadapi pergumulan-pergumulan hidup. Kita masih memiliki hikmat untuk mengambil keputusan. Tetapi tinggal menunggu waktu saja bagi kita untuk mogok. Kita mengalami kekeringan dalam hidup dan kemudian kehidupan rohani kita akan mati.

Saul mungkin contoh yang tepat. Ketika dia memilih tidak taat, Roh Tuhan meninggalkannya. Saul kehilangan kontak dengan Sang Sumber kehidupan. Dia memang masih menjadi raja. Masih mampu memenangkan beberapa pertempuran. Masih mampu mengambil keputusan-keputusan. Tetapi sebenarnya, kehidupannya tinggal menunggu waktu saja untuk mati.

Mari kita menjaga kehidupan kita agar kontak dengan Bapa Sorgawi tetap terjaga. Supaya kita bisa terus melaju menghadapi badai sehebat apapun tanpa kuatir mogok di tengah jalan.

TOMMY


Sekitar 14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama tentang teologi iman. Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang menyisir rambutnya yang terurai sampai sekitar 20 cm di bawah bahunya.

Penilaian singkatku: dia seorang yang aneh? Sangat aneh. Tommy ternyata menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-menerus mengajukan keberatan. Dia juga melecehkan tentang kemungkinan Tuhan mencintai secara tanpa pamrih.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan agak sinis, "Menurut Pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?"

"Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh.

"Oh," sahutnya. "Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan."

Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil. "Saya rasa kamu tak akan pernah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang akan menemukanmu. "

Tommy mengangkat bahu, lalu pergi. Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku. Kemudian kudengar Tommy sudah lulus, dan saya bersyukur. Namun kemudian tiba berita yang menyedihkan: Tommy mengidap kanker yang sudah parah.

Sebelum saya sempat mengunjunginya, dia yang lebih dulu menemui saya. Saat dia melangkah masuk ke kantor saya, tubuhnya sudah menyusut, dan rambutnya yang panjang sudah rontok karena pengobatan dengan kemoterapi. Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya, terdengar tegas.

"Tommy! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit keras?" tanyaku langsung.

"Oh ya, saya memang sakit keras. Saya menderita kanker. Waktu saya hanya tinggal beberapa minggu lagi."

"Kamu mau membicarakan itu?"

"Boleh saja. Apa yang ingin Pastor ketahui?"

"Bagaimana rasanya baru berumur 24 tahun, tapi kematian sudah menjelang?"

Jawabnya, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tahun namun mengira bahwa minum minuman keras, bermain perempuan, dan memburu harta adalah hal-hal yang 'utama' dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku. "Sesuatu yang Pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah Pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan Pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya. Lalu, Pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya."

"Saya sering memikirkan kata-kata Bapak itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh. Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya", Tommy melanjutkan. "Dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai serius melacak Tuhan. Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital, saya benar-benar menggedor-gedor pintu sorga. Tapi tak terjadi apa pun..."

"Lalu, saya terbangun di suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau hal-hal sejenis itu."

"Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa melakukan hal-hal penting," lanjut Tommy. "Saya teringat tentang Pastor dan kata-kata Pastor yang lain: Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang saya cintai bahwa kau mencintai mereka. Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit: ayah saya."

Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya.

"Pa, aku ingin bicara."

"Bicara saja."

"Pa, ini penting sekali." Korannya turun perlahan 8 cm. "Ada apa?"

"Pa, aku mengasihi Papa. Aku hanya ingin Papa tahu itu."

Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu. "Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah saya melakukan dua hal yang seingatku belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku. Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy.

"Mereka menangis bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru memulai terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya.

"Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Yang penting adalah Pastor benar. Dia menemukan saya bahkan setelah saya berhenti mencari-Nya. "

"Tommy," aku tersedak. "Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari. Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih."

"Tommy," saya menambahkan, "Boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Tentu saja, karena ia harus berpulang. Ia melangkah jauh dari iman ke visi. Ia menemukan kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan. Sebelum ia meninggal, kami mengobrol terakhir kali.

"Saya tak akan mampu hadir di kuliah Bapak," katanya.

"Saya tahu, Tommy."

"Maukah Bapak menceritakannya untuk saya? Maukah Bapak menceritakannya pada dunia untuk saya?"

"Ya, Tommy. Saya akan melakukannya."

Oleh: John Powell, S.J.

Berlari Untuk Mengubah kehidupan


Gilbert Tuhabonye mencintai lari. Tumbuh di Burundi, ia berlari di dataran Afrika dekat desanya setiap hari, dan sering ditantang oleh pelari lain yang ingin berlomba. "Mereka akan melihat debu," katanya, "karena aku akan berlari seperti angin."

Tuhabonye (36 tahun), tidak pernah bermimpi semangat mudanya untuk berlari itu suatu hari nanti akan menyelamatkan hidupnya, atau akan menjadi hadiah kehidupan bagi orang-orang di tempat yang jauh.

Berasal dari suku Tutsi, Tuhabonye adalah siswa sekolah menengah ketika perang saudara berkobar di negaranya, antara suku Tutsi dan Hutu. Suatu sore, orang-orang dari suku Hutu datang ke sekolah.

"Mereka menempatkan setiap orang Tutsi yang bisa mereka temukan di dalam gedung lalu membakar bangunan itu dengan api, dan mereka ingin melihat semua orang mati," katanya. Api membakar selama delapan jam yang menakutkan sebelum Tuhabonye keluar. "Saya terus mendengar suara yang mengatakan bahwa saya akan baik-baik saja," ujarnya. "Setelah sembilan jam saya berlari."

Meskipun terluka parah, Tuhabonye berlari meninggalkan pengejarnya. "Tuhan, Dialah yang memberi saya kekuatan untuk dapat pergi menjauhi orang-orang itu," katanya. Selama pemulihan yang panjang di rumah sakit, ia menjadi seorang Kristen. Saat ini, Tuhabonye tinggal di Austin, Texas, bersama istri dan dua anak perempuan, di mana ia melatih sebanyak 300 pelari seminggu yang menyebut diri mereka sendiri sebagai "Rusa Gilbert".

Dia tidak melupakan Burundi, di mana ia mulai mendirikan yayasan untuk anak-anak miskin, dan dia melakukan hal serupa di Austin. Bagi dirinya sendiri, matanya menatap jauh ke depan: "Berlari telah membantu saya untuk melupakan dan mengampuni orang-orang yang mencoba membunuh saya. Saya selalu bersyukur kepada Allah... yang memberi saya kecepatan seperti yang saya miliki."

Dua Bayi Dalam Palungan


Di tahun 1994, dua orang Amerika menanggapi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar Moral dan Etika berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab di sekolah-sekolah umum. Mereka diundang mengajar di penjara, kantor, departemen kepolisian, pemadam kebakaran, dan di sebuah tempat yatim piatu yang besar.
Ada sekitar 100 anak laki-laki dan perempuan yang menjadi penghuni panti asuhan di situ, yang terbuang, ditinggalkan dan sekarang ditampung dalam program pemerintah. Beginilah kisah dalam kata-kata mereka.

Waktu itu mendekati musim libur tahun 1994, sewaktu anak-anak yatim piatu kita, untuk pertama kalinya mendengar kisah Natal. Kami cerita soal Maria dan Yusuf yang sesampainya di Bethlehem tidak mendapatkan penginapan. Lalu pergi ke sebuah kandang binatang, di mana bayi Yesus lahir dan diletakkan dalam sebuah palungan. Sepanjang cerita itu, anak-anak maupun staf rumah yatim itu terpukau diam, terpaku takjub mendengarkan. Beberapa di antaranya bahkan duduk di ujung depan kursi mereka seakan agar bisa lebih menangkap tiap kata.

Seusai cerita, semua anak-anak kami beri tiga potong kertas karton untuk membuat palungan, juga sehelai kertas persegi, dan sedikit sobekan kertas napkin berwarna kuning yang kami bawa. Maklum, masa itu kertas berwarna sedang langka di kota ini. Sesuai petunjuk anak-anak itu menyobek kertasnya, lantas dengan hati-hati, menyusun sobekan pita-pita seakan-akan itu jerami kuning di palungan. Potongan kecil kain flanel digunting dari gaun malam bekas dari seorang ibu Amerika saat meninggalkan Rusia - dipakai sebagai selimut kecil bayi itu. Bayi mirip bonekapun digunting dari lembaran kulit tipis yang kami bawa dari Amerika.

Mereka semua sibuk menyusun palungan masing-masing saat aku berjalan keliling, memperhatikan kalau-kalau ada yang butuh bantuan. Semuanya kelihatan beres, sampai aku tiba di meja seorang anak laki-laki kecil bernama Misha. Kelihatannya ia sekitar 6 tahun dan sudah menyelesaikan pekerjaan tangannya. Sewaktu kulihat palungan bocah kecil ini, saya heran bahwa bukannya satu, melainkan ada dua bayi di dalamnya.

Cepat kupanggil penerjemah agar menanyai anak ini kenapa ada dua bayi. Dengan melipat tangannya dan mata menatap hasil karyanya, anak ini mulai mengulang kisah Natal dengan amat serius. Untuk anak semuda dia yang baru sekali mendengar kisah Natal, ia mengurutkan semua kejadian demikian cermat dan telitinya sampai pada bagian kisah di mana Maria meletakkan bayi itu ke dalam palungan. Di sini si Misha mengubahnya. Ia membuat penutup akhir kisah ini demikian:

Sewaktu Maria menaruh bayi itu di palungan, Yesus lalu melihat aku dan bertanya, "apa aku punya tempat tinggal?"

Aku bilang, "aku tak punya mama dan tak punya papa, jadi aku tak punya tempat untuk tinggal."

Lalu Yesus bilang aku boleh tinggal sama dia.

Tapi aku bilang tidak bisa, sebab aku kan tidak punya apa-apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah seperti orang-orang Majus dalam kisah itu. Tapi aku begitu ingin tinggal bersamanya, jadi aku pikir, apa yah yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah. Aku pikir barangkali kalau aku bantu menghangatkan dia, itu bisa jadi hadiah.

Jadi aku bertanya pada Yesus, "kalau aku menghangatkanmu, cukup tidak itu sebagai kado?"

Dan Yesus menjawab, “Kalau kamu menjaga dan menghangatkan Aku, itu bakal menjadi hadiah terbaik yang pernah diberikan siapapun padaKu.”

Jadi begitu, terus aku masuk dalam palungan itu, lantas Yesus melihatku dan bilang aku boleh kok tinggal bersamanya untuk selamanya.

Saat si kecil Misha berhenti bercerita, air matanya menggenang meluber jatuh membasahi pipinya yang kecil. Wajahnya ditutupi dengan tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke meja dan seluruh tubuh dan pundaknya gemetar saat ia menangis tersedu. Yatim piatu kecil ini telah menemukan seseorang yang tak kan pernah melupakan atau meninggalkannya, yang takkan pernah berbuat jahat padanya, seseorang yang akan tetap tinggal dan menemaninya untuk selamanya.

“Saya telah belajar dari kejadian ini,” si pengajar Amerika mengakhiri ceritanya… , “ternyata yang lebih berharga dalam hidup ini adalah.
Siapa yang kumiliki bukan. Apa yang kumiliki !”

Mencapai Garis Akhir


Telah lama berlalu sorak sorai penonton menyambut sang juara. Telah hilang gegap gempita gemuruh stadion. Tak ada lagi kilatan lampu bliz dari para wartawan. Telah usai juga prosesi pengalungan medali juara. Para penonton pun akan beranjak meninggalkan stadion.

Namun, sesaat kemudian, bunyi sirene mobil polisi lambat laun semakin keras terdengar. Semakin dekat dan mulai memasuki stadion. Di depan mobil polisi tersebut, tampak seorang atlet berlari dengan susah payah. Kakinya terlihat pincang dan berdarah. Namun ia tetap berlari…

Sebelumnya, pada awal perlombaan lari marathon tersebut, terjadi tabrakan fatal dengan pelari lain. Ia diminta berhenti karena lukanya yang cukup parah dan berceceran darah. Namun ia tidak mau, ia tetap berlari menuju garis akhir finish.

John Stephen Akhwari, pelari marathon dari Tanzania, yang sangat diharapkan oleh negaranya untuk meraih medali, hari itu memasuki finish sebagai pelari terakhir. tepatnya nomor 57 dari 74 pelari marathon yang mengikuti lomba tersebut.

Lalu setelah pertandingan ada seorang yang bertanya kepadanya "Mengapa Anda tidak berhenti ketika terluka pada awal pertandingan?"

Jawabnya,
“My country did not send me 7000 mil to Mexico City just to start the race. They sent me to finish.” (“Negara saya tidak mengirim saya 7000 mil ke mexico city hanya untuk memulai pertandingan, mereka mengirim saya untuk menyelesaikannya.)

Hingga saat ini Akhwari menjadi INSPIRASI banyak orang di dunia bukan karena ia memperoleh medali emas melainkan karena komitmennya yang tinggi untuk menyelesaikan pertandingan meskipun dalam keadaan cedera dan terluka.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita akan berhenti untuk mencapai IMPIAN hanya karena kita mengalami "sedikit cedera" ? Ataukah kita akan terus berjuang meskipun banyak tantangan dan fisik yang tidak mendukung untuk mencapai garis akhir?

So..? ...Keep Fighting !..always...PANTANG MENYERAH..!!

Saturday, January 15, 2011

MAMA


Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang.

Itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu di mana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi di mana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur di sini."

Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.

Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.

Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak di tempat.

"Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita".

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
egitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.

Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke manapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang.

Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-sura pribadi. Tapi di antara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu di dekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.

Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

aat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?"

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya".

Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota di mana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi.

Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa, "Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja".

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan."

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. "Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu."

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, "beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

"Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu... Mama..."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan..... satu jam saja.... ...satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.

Meraih Mimpi


Di sebuah tempat terpencil di Tenessee, USA, seorang bayi perempuan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin. Anak itu adalah anak ke 20 dari 22 bersaudara, lahir premature dan lemah. Kelangsungan hidupnya diragukan semua orang. Ketika berumur empat tahun dia menderita Pneumonia parah dan demam scarlet – sebuah kombinasi penyakit yang mematikan yang membuat kaki kirinya lumpuh dan tidak bisa digunakan. Dia harus menggunakan penyangga kaki dari besi untuk membantunya berjalan.

Namun anak ini sangat beruntung karena memiliki seorang ibu yang selalu memberikan dorongan dan semangat padanya.

Ibunya yang luar biasa selalu mengatakan pada anaknya yang ternyata sangat pandai tersebut bahwa walaupun kakinya harus menggunakan penyangga, dia dapat melakukan apapun yang dia inginkan dalam hidupnya.

Ibunya mengatakan bahwa untuk itu yang harus dimilikinya adalah keyakinan, kegigihan, keberanian dan semangat yang selalu menggelora.

Lalu pada usia Sembilan tahun, gadis kecil tersebut memutuskan untuk melepaskan penyangga kakinya dan mulai melangkahkan kakinya yang kata dokter tidak akan bisa normal kembali. Dalam empat tahun dia mulai dapat berjalan secara normal, ini sebuah keajaiban bagi dunia medis.

Dikemudian hari, gadis itu memiliki sebuah impian untuk menjadi pelari wanita terhebat di dunia. Pertanyaannya, mungkinkah dengan kaki yang tidak sempurna seperti itu?

Di usia yang ke tiga belas tahun, dia mulai mengikuti lomba lari. Dia menjadi yang terakhir mencapai finish. Dia selalu mengikuti setiap perlombaan lari di SMA dan dalam setiap perlombaan dia selalu menjadi yang terakhir mencapai finish. Semua orang memintanya untuk menyerah saja! Sampai suatu hari, dia tidak menjadi yang paling akhir mencapai finish dan akhirnya tibalah hari dimana dia memenangkan lomba lari. Sejak sat itu Wilma Rudolph selalu memenangkan perlombaan lari yang dia ikuti.

Wilma melanjutkan sekolahnya di Tenessee State University di mana dia bertemu dengan seorang pelatih bernama Ed Temple. Ed Temple melihat semangat yang menggelora pada diri Wilma dan dia juga melihat sebuah bakat natural dalam diri Wilma. Dia melatih Wilma sampai Wilma terpilih untuk masuk dalam Tim Olimpiade Amerika.

Dalam sebuah perlombaan lari Wilma harus bertanding melawan Jutta Heine, sorang pelari asal Jerman yang merupakan pelari terhebat saat itu. Tak seorang pun bisa mengalahkan Jutta, namun dalam nomor lari gawang 100 meter, Wilma Rudolph memenangkan pertandingan. Dia mengalahkan Jutta lagi pada nomor lari 200 meter. Sekarang Wilma memenangkan 2 medali emas.

Akhirnya di nomor lari 400 meter estafet, Wilma bertemu Jutta lagi. Dua pelari pertama dalam team Wilma melakukan estafet tongkat dengan sempurna, namun saat pelari ketiga menyerahkan tongkat pada Wilma, dia menjatuhkannya karena sangat tegang. Wilma melihat Jutta sudah berlari di lintasan mendahuluinya.

Dalam situasi seperti itu sangatlah tidak mungkin untuk mengejar dan mendahului pelari sekeleas Jutta. Namun akhirnya Wilma melakukannya, dia kembali mengalahkan Jutta Heine. Wilma Rudolph berhasil memenangkan 3 Medali Emas Olimpiade!

Wilma bisa saja memilih untuk menyerah sejak awal-awal kekalahannya, atau bahkan sejak awal dia menyadari kekurangannya, tetapi dia memilih yang berbeda.

Dan kita saksikan, Tuhan mengijinkan kita untuk mengubah kondisi apapun yang telah Dia berikan kepada kita sejak lahir kalau kita memiliki IMPIAN yang sangat KUAT disertai Komitmen dan Konsistensi untuk mewujudkannya.

Ayo Berhenti berpangku tangan pada kondisi yang buruk...
kita Bangkit Sekarang Juga dan MERAIH MIMPI...

Belajar dari seorang Penjual Kue


Ada seorang Bocah Kecil yang setiap pulang sekolah selalu membantu ibunya berjualan kue hingga menjelang malam. Seperti biasa, siang itu si Bocah menjajakan kuenya di keramaian kota. Dia melihat seorang pemuda sedang makan di sebuah depot. Si Bocah Penjaja Kue ini pun menghampirinya.

“Om, silahkan dipilih kuenya, Om… kue buatan ibu saya enak lho, Om…” katanya menawarkan kue kepada si Pemuda.

“Maaf ya, Dik. Saya sedang makan.” kata si Pemuda menolak dengan ramah.

Si Bocah tidak menyerah, dia tunggu sesaat sampai si Pemuda menyelesaikan makannya. Dia hampiri lagi si Pemuda itu. Dan lagi-lagi si Pemuda menolak dengan ramah, ”Wah... maaf, Dik, saya sudah kenyang. Porsi makannya tadi banyak sih...”

Si Penjual Kue terus memperhatikan si Pemuda sambil berpikir bagaimana caranya menjual kue kepada si Pemuda. Saat si Pemuda meninggalkan depot, dia hampiri sekali lagi dengan berharap siapa tahu Pemuda itu mau membeli kuenya untuk oleh-oleh.

”Om, mau beli kue saya, Om? Bisa untuk oleh-oleh keluarga di rumah...” katanya lagi.

Si Pemuda memang tidak ingin membeli kue, namun dia merasa kasihan kepada si Bocah, dan mungkin juga risih karena terus-terusan dikejar. Dia keluarkan uang yang cukup banyak dari kantongnya.

”Dik, ini uang buat kamu, dan ini sedekah dari saya.” kata si Pemuda menyerahkan uangnya.

”Tapi, Om, uang ini bisa dapat beberapa kue untuk oleh-oleh,” kata si Bocah.

”Ya, tapi saya lagi tidak pingin kue. Jadi, sedekah saya ini kamu terima saja ya...” jawab si Pemuda sedikit memaksa.

Setelah mengucapkan terima kasih, si Bocah pun pergi. Untuk beberapa saat, si Pemuda sempat memperhatikannya. Si Bocah menghampiri seorang pengemis tua, dan kemudian memberikan uang yang diterimanya dari si Pemuda. Tentu saja, si Pemuda merasa aneh, karena dia perhatikan sepertinya tidak ada hubungan apa-apa antara si Bocah dengan si Pengemis. Dia pun menghampiri Bocah itu lagi.

”Dik, maaf ya... kenapa uang yang saya kasih malah kamu kasihkan ke pengemis? Bukannya itu rejeki buat kamu?”

Si Bocah pun tersenyum, ”Maaf, Om. Saya sudah janji sama Ibu kalau saya mau bantu Ibu berjualan kue ini, bukan untuk jadi pengemis. Jadi, saya akan bangga kalau uang yang saya kasih ke Ibu nanti adalah uang hasil kerja keras saya jualan kue, walaupun mungkin tidak seberapa dibandingkan uang mereka yang mengemis. Ibu pasti juga bangga pada saya, karena Ibu tidak mau anak-anaknya jadi pengemis.”

”Wah! Kamu bener-bener luar biasa! Tapi, sebentar, itu kan berarti kamu menolak rejeki yang Tuhan berikan kepadamu melalui tangan saya?” si Pemuda mencoba berargumentasi.

”Tadi waktu Om kasih ke saya, kan saya tidak menolaknya, Om...” si Bocah pun berkilah.

Si Pemuda pun tertawa, tak lagi bisa membantah. Dia terkagum-kagum pada sikap si Penjual Kue yang, menurut usia, masih sangat muda untuk sebuah semangat pantang menyerah serta mempertahankan Kehormatan diri dan keluarganya dengan Bekerja, bukan mengemis.

Suatu pantangan bagi Keluarga Sederhana ini untuk menjadi pengemis. Si Bocah ingin selalu melihat senyum kebanggaan dari Sang Ibu setiap kali dia pulang ke rumah. Dan senyuman yang tulus penuh kasih itu harus dia balas dengan sebuah Perjuangan yang terbaik, apapun hasilnya.

Hanya karena kekagumannya pada sang Bocah, si Pemuda itu akhirnya memborong semua kue yang dijajakan oleh Pahlawan Kecil itu.

”Lho, katanya tadi Om lagi tidak pingin kue...? Kok sekarang malah dibeli semua?” si Bocah yang lugu itu masih bertanya juga sambil memasukkan kue-kuenya ke dalam kantong plastik.

”Kan tadi kamu sendiri yang bilang kuenya untuk oleh-oleh,” kata si Pemuda, ”nanti saya mau berikan kue-kue ini pada anak-anak di sekitar rumah saya, dan saya akan bagikan semangatmu yang pantang menyerah itu kepada mereka melalui kue-kue ini... Semoga lebih banyak lagi anak-anak yang sepertimu di negeri ini...”

Sang Bocah pun mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan si Pemuda dengan wajah ceria, siap menyambut senyuman penuh kasih dan kebanggaan yang akan diberikan oleh Sang Ibu di rumah.

Si Pemuda tersenyum haru bercampur bangga menyaksikan keceriaan Sang Pahlawan itu.

Dari seorang Bocah Kecil yang polos itu dia belajar:

”Apapun hasilnya, memperjuangkan sebuah Kehormatan dan Kemuliaan pasti memberikan Kebanggaan yang tak terbeli dengan materi seberapapun banyaknya. Dan seberapa pun hasilnya, menjalani sebuah pekerjaan mulia jauh lebih terhormat daripada hanya berpangku tangan mengais belas kasihan orang lain, apalagi kalau mencuri dan merampok yang bukan haknya..."

Inspirasi Mengatasi Masalah


Inspirasi untuk mengatasi Masalah-Masalah Besar dalam Hidup Anda

Eunice Chew adalah seorang wanita Sukses. Secara finansial, Beliau memiliki penghasilan besar dari merawat orang-orang kaya di Singapura. Ibu Chew juga mengelola sebuah bisnis mega-profit di bidang Herbal Tradisional Tiongkok. Selain itu, wanita yang dinobatkan sebagai Finalis Wanita Teladan Singapura 2005 pada usia 52 tahun ini juga aktif sebagai sukarelawan yang memberikan konsultasi dan pendampingan gratis bagi kaum wanita korban ketidak-setiaan pasangan hidup, dan juga bagi orang-orang yang telah lama menderita sakit tak tersembuhkan.

Eunice Chew menjadi Seorang yang Besar ternyata bukan karena kondisi-kondisi besar atau kondisi yang menguntungkan dirinya untuk menjadi besar. Beliau menjadi seorang yang besar adalah karena Beliau MEMILIH DIRINYA untuk menjadi Besar di tengah-tengah kondisi-kondisi kecil atau kondisi yang sama sekali tidak menguntungkan, di mana kebanyakan orang akan menyerah dalam kondisi-kondisi tersebut.

Mari kita simak sekilas kisah hidup Eunice Chew…

Chew kecil diangkat anak oleh Keluarga kaya raya Teochew yang ingin memiliki anak perempuan. Masa kanak-kanak Chew kecil dikelilingi kemewahan layaknya anak orang kaya. Namun di sisi lain, Pasangan Teochew memiliki gaya hidup kuno yang tidak mengenal sentuhan, pelukan dan ciuman untuk anak-anak mereka dalam mengungkapkan kasih sayang. Chew kecil tumbuh menjadi wanita yang selalu mendambakan kasih sayang.

Usia 17 tahun, Chew muda menikah dengan seorang pegawai transportasi, dan berharap mendapatkan kasih sayang dari pria itu. Singkat cerita, harapan itu adalah harapan kosong. Sang suami ternyata adalah pria yang suka menyiksa istri. Perkawinan itu hanya bertahan lima tahun, dan Chew muda sudah dikaruniai dua orang anak.

Tidak lama setelah Chew bercerai, ayah angkatnya wafat karena sakit. Pembagian warisan menimbulkan pertikaian sengit dalam keluarga besar Teochew. Akhirnya Chew yang hanya anak angkat harus rela tidak kebagian apa-apa. Lebih parah lagi, saudara-saudaranya, anak kandung Keluarga Teochew sendiri, membebani Chew untuk mengurusi ibu mereka yang sudah buta dan lumpuh. Chew hidup bersama kedua anak dan ibu angkatnya dalam keadaan sangat miskin.

Chew berjualan susu coklat untuk menyambung hidup. Itulah pengalaman pertamanya mencari uang. Setiap malam selesai berjualan, Chew menangis karena dia sama sekali tidak mengerti bagaimana harus menjalankan usaha, bahkan usaha sekecil itu. Chew harus bisa memberi makan ibunya yang mulai sakit-sakitan dan kedua anaknya.

Kepedihan ini mereka jalani selama 2 tahun. Kemudian Chew berganti pekerjaan menjadi koki. Kondisinya pun sama saja. Sekitar dua tahun juga, Chew berganti lagi menjadi penjual pakaian. Setiap hari ia menumpang kendaraan umum dengan menggendong 3-4 kantong besar berisi baju dagangannya. Saat bersamaan, ia melakukan pekerjaan lain sebagai makelar rumah dan mobil bekas. Sebagai tambahan pula, setiap malam Chew mendesain beberapa pola kain untuk sebuah perusahaan garmen di Jepang. Meskipun hampir tidak pernah beristirahat sepanjang hari, pendapatannya mulai lumayan. Namun akhir tahun 70-an, pasar tekstil melemah, pekerjaannya menjual pakaian dan mendesain kain pun lenyap.

Chew terpaksa beralih menjadi pelayan restoran. Karena etos kerjanya yang bagus, beberapa saat kemudian dia diangkat menjadi pimpinan pelayan dan akhirnya menjadi manajer untuk bidang entertainment di restoran tersebut. Sementara menekuni pekerjaan itu, Chew tetap menjalani pekerjaan sambilannya sebagai makelar rumah dan mobil.

Alhasil, Chew berhasil mengumpulkan modal untuk mendirikan bisnis sendiri dalam pembuatan asesoris fashion. Namun, kondisi buruk masih menimpanya, dua orang asisten yang dipercaya ternyata kabur bersama semua aset perusahaan. Peristiwa itu terjadi justru di saat Chew sangat membutuhkan uang karena ibunya berkali-kali harus keluar-masuk rumah sakit. Hidupnya yang tadinya mulai tertata mapan, harus dia bangun kembali dari NOL.

Sempat terlintas di benak Chew untuk bunuh diri, namun Tuhan masih mengetuk hati Chew dengan kasih sayangnya pada anak-anak dan juga Ibunya. Chew bangkit, dan memulai lagi usahanya dari awal dengan pinjaman modal dari beberapa sahabat yang bersimpati padanya. Sampai pada akhirnya, Eunice Chew meraih semua keberhasilannya.

Inilah cuplikan pidato Ibu Chew yang dikutip oleh Majalah The Strait Times Singapura ketika Beliau menjadi Finalis Wanita Teladan Singapura:

"Hidup ini telah mengajarkan saya bahwa selalu ada JALAN KELUAR dari setiap KESULITAN. Tenangkan diri untuk mengatasi gejolak, dan melangkahlah setapak demi setapak. Gelindingkan saja batu-batu karang yang kecil dari hidup Anda, hingga akhirnya Anda pasti memiliki kekuatan untuk mendorong batu-batu karang yang besar.”

"Pertimbangkanlah selalu perasaan orang lain terlebih dahulu, BUKANNYA perasaan Anda sendiri. Berusahalah selalu menjadi PIHAK PERTAMA yang memberikan Cinta & Perhatian pada orang lain, dan berhentilah menuntut orang lain memberikannya terlebih dahulu. Itulah satu-satunya cara yang saya ketahui untuk keluar dari kegelapan hidup.”

Ibu Eunice Chew juga memberi saran bagi mereka yang menghadapi kesulitan:
1. Tulislah Daftar Kesulitan yang Anda hadapi itu di atas kertas.
2. Bacalah Daftar Kesulitan Anda
3. Tanyakan pada diri sendiri: ”Apa hal terkecil yang saya BISA lakukan HARI INI untuk mengatasi kesulitan itu?”
4. MULAILAH melakukan hal-hal kecil itu sebagai KOMITMEN...

Gelindingkan saja batu-batu karang yang kecil dari hidup Anda, hingga akhirnya Anda pasti memiliki kekuatan untuk mendorong batu-batu karang yang besar

Aku dan Seisi Rumahku


Suatu kali, seorang Ibu mengatakan kepada saya tentang bagaimana dia
memikirkan anaknya.
Anak laki-laki ini membuat keputusan-keputusan buruk dan berjalan dengan
teman-teman yang salah.
Ibu ini berdoa dan berusaha meyakinkan anaknya untuk datang ke gereja dan
mengubah pergaulannya, tetapi anak ini tidak mau melakukannya.
Sepertinya semakin ibunya berdoa, dia justru menjadi lebih buruk.
Singkat cerita, anak ini berakhir di penjara.
Sepertinya dia tidak akan memenuhi tujuan hidup yang benar.
Tapi ibunya tidak menyerah atau bersikap negatif tentang situasi.
Ibunya terus menyatakan Firman Tuhan, "Adapun saya dan rumah saya, kami akan
melayani Tuhan. Benih orang benar pasti diberkati.."

Suatu hari Minggu pagi, anaknya yang berada di penjara sedang menonton
televisi, dan seorang narapidana lain datang dan ingin menonton sesuatu yang
lain.
Mereka mulai berdebat tentang acara televisi apa yang mereka akan tonton dan
mulai berebut remote control.
Pada saat itu, seorang narapidana lain melangkah masuk ke ruangan.
Dia berbadan besar!
Dia berdiri setinggi sekitar enam kaki enam inci.
Dia tampak seperti pemain sepak bola profesional dengan otot menonjol keluar
dari kemejanya.
Dia meraih remote control dan berkata, "Saya akan memutuskan apa yang akan
kita semua tonton."
Dia mulai membolak-balik saluran dan sampai di program televisi pelayanan
kami.
Dia berkata, "Bagus, kita akan menonton program pelayanan rohani hari ini.."

Anak laki-laki ini bangkit dari tempat duduknya untuk pergi.
Tiba-tiba temannya yang berbadan kekar itu mencengkeram kemejanya,
menariknya kembali dan berkata, "Duduklah. Kamu akan menonton dengan saya."
Tuhan bekerja dengan cara yang misterius !
Saat dia melihat program televisi, tiba-tiba, anak laki-laki ini mulai
merasakan kasih dan hadirat Tuhan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Dia mulai menangis.

Pada akhir acara televisi, narapidana yang berbadan kekar itu mendoakan anak
Ibu ini dan membawanya menerima Kristus.
Hari ini saya melihat anak laki-laki ini datang di ibadah gereja setiap
Minggu, duduk dengan ibunya.
Siapa yang akan berpikir bahwa saat duduk di penjara pemuda ini akan dipaksa
untuk menonton program televisi rohani, dan Tuhan akan mengubah hidupnya?
Tampaknya sesuatu yang aneh bagi pemikiran manusia.

Hari ini, saya ingin mengingatkan Anda bahwa meskipun janji-janji Tuhan yang
telah Anda pegang teguh mungkin terlihat sepertinya tidak pernah akan
terjadi,
Tuhan tetap setia. Apa yang Dia bisa lakukan untuk orang lain, Dia akan
melakukannya untuk Anda.
Sama seperti Ibu ini, tetap berdiri, tetap percaya dan terus berharap.
Dalam Alkitab, Daud mengatakan seperti ini, "Apa yang akan terjadi pada saya
jika saya tidak percaya saya bisa melihat kebaikan Tuhan?"
Saya meminta Anda hari ini untuk percaya bahwa Allah memiliki hal-hal
menakjubkan untuk masa depan Anda.
Jika Anda percaya untuk keselamatan orang-orang yang Anda kasihi, tetap
percaya karena semua hal menjadi mungkin ketika Anda percaya!

Peka Terhadap Suara Tuhan


Lebih dari 200 orang luka parah dan 60 orang kehilangann nyawanya ketika Hotel LaSalle di kota Chicago, Amerika Serikat, terbakar pada dini hari tanggal 5 Juni 1947.
Sepuluh orang di antaranya meninggal, karena melompat dari jendela kamar mereka di lantai atas.

Sebelum api mengamuk, seorang usahawan Chicago menelepon istrinya dari salah satu kamar hotel itu.
Dia memberitahunya bahwa ia sedang bermain kartu dengan beberapa temannya. Istrinya menyuruhnya pulang.Namun usahawan itu keberatan.
Ia tidak peduli atas permintaan istrinya itu. Usahawan itu mengatakan bahwa ia akan menyelesaikan satu putaran lagi baru kemudian pulang ke rumah.
Tetapi beberapa menit sebelum permainan kartunya selesai, api berkobar. Usahawan itu mati dalam nyala api yang mengerikan itu.

Para regu penolong menyeret tubuhnya yang hangus dari reruntuhan hotel itu keesokan harinya. Semua itu menimpanya, karena dia tidak mau berhenti berjudi sampai satu putaran lagi.

Hidup manusia itu tidak diketahui kapan berakhir. Caranya berakhirnya hidup itu pun tidak pernah diketahui.
Seolah-olah dalam hidup ini orang meraba-raba tentang hari esoknya. Orang tidak bisa memastikan apakah semenit kemudian dia masih hidup atau sudah meninggal.

Kisah di atas menunjukkan bahwa orang tidak peduli akan hidupnya. Orang hanya mencintai dirinya sendiri dengan mengikuti kesenangan pribadinya.
Orang tidak peduli bahwa ada sesamanya yang membutuhkan kehadirannya. Kesenangan pribadi itu ternyata berakibat fatal terhadap hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus hidup di bawah naungan Tuhan.
Orang yang hidup di bawah naungan Tuhan itu senantiasa mendengarkan suara Tuhan.
Tuhan berbicara lewat orang-orang yang ada di sekitar kita.
Tuhan berbicara lewat tanda-tanda yang ada di sekitar kita. Karena itu, kita dituntut untuk peka terhadap suara Tuhan itu.
Kita dituntut untuk peka terhadap tanda-tanda jaman di sekitar kita.

Setiap hari kita menerima banyak hal baik dari Tuhan dan sesama.
Hal-hal itu merupakan tanda-tanda jaman di mana kita masih diberi perlindungan oleh Tuhan yang mahapengasih dan penyayang.
Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan senantiasa menyertai perjalanan hidup kita.

Karena itu, mari kita syukuri penyertaan Tuhan itu dan senantiasa mendengarkan suaraNya dalam hidup kita.

Friday, January 14, 2011

From OB to VP


Mungkin pepatah “Dimana ada kemauan disitu ada jalan” dan “Tiada usaha yg sia-sia dan mustahil dalam hidup ini bila kita melakukan nya dgn ketulusan dan kesungguhan karena Tuhan bersama kita ”

Sungguh sebuah karunia yang luar biasa bagi saya bisa bertemu dengan seorang yang memiliki pribadi dan kisah menakjubkan. Dialah Houtman Zainal Arifin, seorang pedagang asongan, anak jalanan, Office Boy yang kemudian menjadi Vice President Citibank di Indonesia. Sebuah jabatan Nomor 1 di Indonesia karena Presiden Direktur Citibank sendiri berada di USA.

Sekitar tahun 60an Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Merantau dari kampung dengan penuh impian dan harapan, Houtman remaja berangkat ke Jakarta. Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.

Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya.

Tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.

Sampai suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.

Tapi Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan. Diterimanyalah jabatan tersebut dengan sebuah cita-cita yang tinggi. Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.

Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dan lain lain.

Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.

Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun. “bener nih kamu mau bantuin saya?” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggungjawab, bisa dipecat nanti”, sang staff mewanti-wanti dengan keras. Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.

Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.

Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.

Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.

19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.

Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang.

“Oleh karena itu janganlah kita melihat sesuatu dari jenis pekerjaannya sekarang tp bagaimana kita melakukan pekerjaan tersebut dgn kesungguhan dan ketulusan hati dan jangan berhenti untuk terus belajar dan mengembangkan diri.” begitu katanya. Alangkah bijaknya sehingga kita pun perlu belajar darinya.