Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.( Yohanes 15 : 16 )

Sunday, April 19, 2009

Setan atau Malaikat


Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat”.
–John Scheffer-

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
—–
“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
—–
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Saturday, April 18, 2009

Raja Alfred Dan Kue Yang Gosong


Suatu hari, ketika Raja Alfred yang baik dari Inggris dipaksa melarikan diri dari pasukan musuh, ia menyembunyikan dirinya di sebuah hutan. Di dalam hutan ini, ada sebuah gubuk yang kecil, dan Alfred bertanya pada wanita yang tinggal di sana apakah ia boleh masuk dan beristirahat. Wanita desa itu tidak mengetahui bahwa yang berdiri dihadapannya adalah raja, mengiranya sebagai seorang prajurit Inggris yang tampak sangat lelah, maka dia membiarkan raja Alfred masuk dan duduk di dapurnya.

Di atas perapian, beberapa kue sedang dipanggang, dan wanita itu mengatakan kepada orang asing itu untuk menjaganya, dan berhati-hatilah supaya ia tidak gosong, setelah itu wanita itu akan memberi dia makan malam dengan kue tersebut. Lalu wanita itu pergi untuk lakukan pekerjaannya.

Pada mulanya, Raja Alfred mengamati kue-kue itu secara hati-hati; ketika satu sisi sudah matang ia membalikkan sisi yang lain keperapian. Tetapi, saat sedang menunggu, ia mulai berpikir tentang negerinya, dan tentang rakyatnya yang miskin, lalu ia melupakan kue tersebut.

Ketika wanita itu kembali, kue-kue itu telah hitam dan gosong. “Kamu adalah seorang yang sangat ceroboh!” dia berteriak dengan marah. “Kamu telah sangat lapar dan bisa mengisi perut dengan kue-kue ini, tapi kenapa kamu tidak menjaganya sampai gosong begini!”

Selagi dia mendamprat dengan keras, suaminya pulang. Ia mengenali bahwa yang sedang duduk di dapurnya adalah Raja Alfred. Ia berkata: “Diam, istriku!” teriaknya. “Ia adalah yang mulia raja kita!”

Ketika wanita itu mendengar hal ini, dia sangat ketakutan, dan dia memohon kepada Alfred untuk mengampuninya.

Raja yang rendah hati ini tersenyum, dan berkata: “Saya akan dengan dengan senang hati memaafkan Anda, asalkan Anda mengampuni saya karena membuat kue-kue ini gosong.”

Sumber : www.erabaru.or.id

"Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu : selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hdapan Allahmu ?" (Mikha 6 : 8)

3 pertanyaan


Leo Tolstoy menceritakan sebuah kisah indah tentang seorang raja yang ingin mengetahui jawaban atas 3 pertanyaan: Kapan waktu yang tepat untuk melakukan segala hal? Siapa yang terpenting? Dan apa hal terpenting yang harus dilakukan? Raja menjanjikan hadiah besar bagi mereka yang berhasil menjawab ketiga pertanyaan tersebut dengan tepat.

Untuk pertanyaan pertama, ada yang menasehatkan raja untuk membuat jadwal kerja dan berkonsentrasi. Yang lain menganjurkan supaya raja tidak membuang-buang waktu. Ada yang menganjurkan raja untuk mengangkat penasehat-penasihat yang bijak. Yang berikutnya menganjurkan supaya raja memakai juru ramal saja karena lebih cepat daripada mencari dan merekrut orang bijaksana.

Pertanyaan kedua, seseorang berkata bahwa raja perlu mempercayai pegawai-pegawainya, pendeta, dan ahli-ahli perang.

Pertanyaan ketiga, ada yang mengatakan ilmu pengetahuan, ada yang mengatakan agama atau ilmu kemiliteran.

Raja tidak puas dengan semua jawaban yang ada. Akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi seorang pertapa bijaksana yang hidup di puncak gunung. Raja kemudian menyamar menjadi seorang rakyat jelata dan pergi mengunjungi orang tersebut. Sampai di puncak gunung, ia mendapati sang pertapa sedang menggali beberapa lubang di kebunnya. Ketika raja menanyakan ketiga pertanyaannya, si pertapa hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak sang raja dan meneruskan pekerjaannya. Raja berkata, "Anda kelihatannya lelah mari saya bantu menggali." Pertapa itu mengucapkan terima kasih, dan memberikan sekopnya kepada raja. Ia duduk di bawah pohon untuk beristirahat.

Ketika raja telah menyelesaikan 2 lubang, kembali ia menanyakan 3 pertanyaannya kepada si pertapa. Pertapa itu tidak menjawabnya, malahan ia mengatakan hal lainnya, "Kenapa Anda tidak beristirahat dulu? Biarkan saya meneruskan pekerjaan itu lagi." Tetapi raja meneruskan pekerjaannya. Satu,dua jam pun berlalu. Akhirnya Matahari terbenam. Raja meletakkan sekop dan duduk di samping Si Pertapa. Raja menanyakan kembali pertanyaannya.

Tiba-tiba seorang laki-laki lari mendekati mereka dari dalam hutan. Ia meletakkan tangannya di perutnya yang terluka. Laki-laki itu pingsan di tanah. Seluruh tubuhnya berlumuran darah. Tak tahan melihatnya, raja membuka pakaian laki-laki itu dan membersihkan lukanya. Saat siuman, raja memberi ia minum. Berdua bersama Si Pertapa, ia menggendong laki-laki itu ke pondok karena hari mulai gelap. Raja merasa kelelahan, dan jatuh tertidur. Keesokan paginya, ketika raja membuka mata, laki-laki itu telah siuman. Ketika melihat raja, laki-laki itu berbisik, "Maafkan saya." "Mengapa saya harus memaafkanmu?" tanya raja. “Saya adalah musuh Anda, saya datang untuk membunuh Anda. Tetapi saya bertemu pengawal-pengawal istana, Mereka melukai saya. Untung saya bisa melarikan diri. Kalau saja Anda tidak menolong saya, pasti saat ini saya sudah mati. Anda telah menyelamatkan saya! Saya merasa malu dan saya ingin berterima kasih atas kebaikan Anda. Saya bersumpah, saya, anak dan cucu saya akan mengabdi kepada Anda? Maafkan saya."

Raja merasa sangat bersukacita karena begitu mudah ia didamaikan dengan musuhnya. Sebelum pulang, raja menemui Pertapa untuk berpamitan. Pertapa itu berkata, "Pertanyaan-pertanyaan Anda telah terjawab." Ketika Pertapa melihat raja kebingungan, ia segera melanjutkan pernyataannya. "Kemarin seandainya Anda tidak merasa kasihan kepada saya dan menolong saya di kebun, maka Anda sudah terbunuh di hutan. Maka Anda pasti akan menyesal mengapa tidak tinggal saja di sini. Jadi waktu yang tepat adalah saat Anda menggali lubang, orang yang terpenting adalah saya dan pekerjaan yang terpenting adalah menolong saya.

Kemudian saat laki-laki itu datang, waktu yang terpenting adalah saat Anda mengobati lukanya, karena bila tidak Anda lakukan ia akan mati dan Anda akan kehilangan kesempatan berdamai dengannya. Demikian juga, ia adalah orang yang terpenting. Sedangkan hal yang terpenting adalah mengobati lukanya."

Ingatlah bahwa waktu yang terpenting itu cuma satu dan waktu itu adalah “Sekarang”. “Sekarang” adalah satu-satunya waktu yang ada di tangan kita. Orang yang terpenting selalu adalah orang yang ada di sisi kita, di depan kita karena siapa yang tahu hubungan apa yang akan kita miliki dengannya di masa yang akan datang. Pekerjaan yang terpenting adalah membuat orang itu bahagia.

Sumber : www.erabaru.or.id

Adakah yang mendoakan kita?


Seorang pengusaha mengalami stroke, sudah 7 malam dirawat di RS di ruang ICU. Pada suatu malam di dalam dunia roh seorang Malaikat menghampiri si pengusaha yang terbaring tak berdaya.

Malaikat memulai pembicaraan, "Kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat kesembuhanmu, maka kau akan hidup dan sebaliknya jika dalam 24 jam jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, itu artinya kau akan meninggal dunia!

"Kalau hanya mencari 50 orang, itu sih gampang. Aku memiliki 2000 karyawan. " kata si pengusaha ini dengan yakinnya.

Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati.

Tepat pukul 23:00, Malaikat kembali merngunjunginya, dengan antusiasnya si pengusaha bertanya, "Apakah besok pagi aku sudah pulih?".

Dengan lembut si Malaikat berkata, "Anakku, aku sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa buatmu tapi sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu, sedang waktumu sempit, rasanya mustahil ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu".

Lalu si Malaikat menunjukkan layar besar berupa TV, 3 orang yang berdoa buat kesembuhannya adalah istri dan kedua anaknya. Berdoa dengan khusuk dan tampak tetesan air mata di pipi mereka".

Kata Malaikat, "Aku akan memberitahumu, kenapa Tuhan mau memberikanmu kesempatan kedua? Itu karena doa istrimu yang tidak putus-putus berharap akan kesembuhanmu"

Kembali terlihat di mana si istri sedang berdoa pada pukul 02:00 dini hari, " Tuhan, aku sadar kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami atau ayah yang baik! Tapi Tuhan, tolong pandang anak-anak yang telah Engkau titipkan pada kami, mereka masih membutuhkan seorang ayah dan hamba tidak mampu membesarkan mereka seorang diri." dan setelah itu istrinya berhenti berkata tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang kelihatan tirus karena kurang istirahat".

Melihat peristiwa itu, tanpa terasa, air mata mengalir di pipi pengusaha ini. Timbul penyesalan bahwa selama ini dia bukanlah suami yang baik dan ayah yang menjadi teladan bagi anak-anaknya, dan malam ini dia baru menyadari betapa besar cinta istri dan anak-anak padanya.

Waktu terus bergulir, waktu yang dia miliki hanya 10 menit lagi, tidak mungkin dalam waktu 10 menit ada 47 orang yang berdoa untuknya!

Dengan setengah bergumam dia bertanya, "Apakah di antara orang yang ku kenal, tidak ada yang berdoa buatku?"

Jawab si Malaikat, "Ada beberapa yang berdoa buatmu tapi mereka tidak tulus, bahkan ada yang mensyukuri penyakit yang kau derita saat ini. Itu karena selama ini kamu arogan, egois dan bukanlah atasan yang baik, bahkan kau tega memecat karyawan yang tidak bersalah".

Si pengusaha tertunduk lemah, dan pasrah menghadapi saat terakhir, dia minta waktu sesaat untuk melihat anak dan si istri yang setia menjaganya sepanjang malam.

Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si Malaikat berkata, "Anakku, Tuhan melihat air matamu dan penyesalanmu! Kau tidak jadi meninggal, karena ada 47 orang yang berdoa buatmu tepat jam 24:00".

Si Malaikat menunjukkan Panti Asuhan yang pernah diberinya bantuan. Meski bantuannya waktu itu tidak tulus namun sangat berarti bagi panti asuhan itu. Anak-anak panti asuhan itulah yang berdoa buat kesembuhannya.

Sumber : www.erabaru.or.id