kumpulan ilustrasi kotbah,ilustrasi kristen, ilustrasi kotbah kristen, humor dan artikel rohani , yang dapat digunakan untuk tambahan materi kotbah.
Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.( Yohanes 15 : 16 )
Sunday, October 31, 2010
3 x 8 = 23
Yan Hui adalah murid kesayangan Confucius yang suka belajar, sifatnya baik.
Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain
sedang dikerumuni banyak orang.
Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.
Pembeli berteriak: “3 X 8 = 23, kenapa kamu bilang 24?”
Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: “Sobat, 3 X 8 = 24, tidak usah
diperdebatkan lagi.”
Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa
minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius.
Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan.”
Yan Hui: “Baik, jika Confucius bilang kamu salah, bagaimana?”
Pembeli kain: “Kalau Confucius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?”
Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu.”
Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confucius. Setelah
Confucius tahu duduk persoalannya, Confucius berkata kepada Yan Hui sambil
tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Berikan jabatanmu kepada dia.”
Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya.
Ketika mendengar Confucius berkata dia salah, diturunkannya topinya lalu dia
berikan kepada pembeli kain.
Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.
Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confucius tapi hatinya tidak sependapat.
Dia merasa Confucius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga.
Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya. Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confucius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasihat : “Bila hujan
lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh.”
Yan Hui menjawab, “Baiklah,” lalu berangkat pulang.
Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat.
Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasihat Confucius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi.
Dia meninggalkan pohon itu.
Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur.
Yan Hui terkejut, nasihat gurunya yang pertama sudah terbukti.
Apakah saya akan membunuh orang?
Yan Hui tiba di rumahnya saat malam sudah larut dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya.
Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya.
Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan.
Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya.
Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasihat Confucius,
jangan membunuh.
Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.
Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confucius, berlutut dan berkata:
“Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?”
Confucius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon.
Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh”.
Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum.”
Jawab Confucius : “Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga.
Kamu tidak ingin belajar lagi dariku.
Cobalah kamu pikir.
Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu.
Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah
dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.
Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?”
Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : “Guru mementingkan yang lebih
utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu.”
Sejak itu, kemanapun Confucius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.
Cerita ini mengingatkan kita :
Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.
Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.
Banyak hal ada kadar kepentingannya.
Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.
Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan.
Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.
The Tale of Two Horses
Ada sebuah padang, dengan dua ekor kuda di dalamnya. Dari kejauhan, dua kuda itu seperti kuda pada lazimnya. Tetapi jika Anda menghentikan mobil dan berjalan mendekat, Anda akan menemukan satu hal yang mengagumkan. Saat memperhatikan mata salah satu kuda, akan terlihat bahwa kuda itu buta.
Pemiliknya telah memutuskan untuk tidak membuangnya, tetapi justru membuatkan sebuah rumah yang nyaman untuknya.
Hal berikut ini juga luar biasa. Jika Anda berdiri di dekatnya dan memperhatikan, akan terdengar bunyi suara lonceng. Saat mencari sumber suara itu, Anda akan melihat bahwa itu berasal dari kuda yang lebih kecil di padang rumput itu.
Di lehernya dikalungkan sebuah lonceng kecil. Suaranya akan memberi tanda kepada kuda yang buta arah kuda kecil berada, sehingga bisa mengikutinya.
Ketika Anda berdiri dan memperhatikan kedua kuda itu, Anda akan melihat bahwa kuda yang memiliki lonceng selalu menoleh memperhatikan kuda yang buta, dan kuda yang buta akan mendengar suara lonceng dan kemudian berjalan perlahan ke arahnya; percaya bahwa dia tidak akan tersesat.
Saat kuda dengan lonceng kembali ke kandang pada sore hari, dia setiap kali akan selalu berhenti dan menoleh, memastikan bahwa temannya yang buta tidak berjalan terlalu jauh untuk bisa mendengar bunyi loncengnya.
Seperti pemilik dari kedua kuda ini, Tuhan tidak pernah membiarkan kita terbuang hanya karena kita tidak sempurna atau kita sedang menghadapi masalah atau tantangan.
Dia mengawasi kita dan bahkan membawa orang lain ke dalam hidup kita untuk menolong kita saat kita membutuhkannya.
Kadang-kadang kita adalah kuda buta yang dituntun oleh bunyi pelan lonceng dari orang-orang yang ditempatkan Tuhan dalam kehidupan kita.
Teman baik selalu seperti itu ... Anda tidak pernah selalu melihat mereka, tapi Anda tahu bahwa mereka selalu ada di sana.
Dengarkanlah lonceng saya dan saya akan mendengarkan lonceng Anda.
Dan ingat ... bersikaplah ramah lebih dari biasanya - siapa saja yang Anda temui adalah ibarat pergumulan dalam suatu pertempuran.
Friday, October 29, 2010
Lampu Merah
Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack
segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu
perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup
lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati
Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter
menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia
berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem
mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya
berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati.
Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia
melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jack.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri
saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan
anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh
terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu
merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.
Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta
sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup
kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa
saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan
penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup
untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa
ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru
Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
“Halo Jack,
Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia
sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu
dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah
tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan
mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu
juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah.
Bob”
Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob
sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia
mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya
dimaafkan.
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa
jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga,
jalanilah dengan penuh hati-hati.
Akhir Sebuah Kebohongan
Pada sebuah malam yang menyenangkan, saya menikmati hidangan acara salah satu program televisi swasta. Sebuah film drama yang mengesankan, berjudul “Simone”. Berkisah tentang seorang sutradara bernama Viktor. Ia seorang yang idealis, tak mau membuat film hanya sekedar karena perhitungan komersial (bisnis) belaka. Tapi idealismenya itu tak sejalan dengan timnya. Viktor dianggap orang yang tak mau berkompromi, lantas ia tak disukai oleh sesama pekerja film dalam timnya. Bahkan dilecehkan dengan idealismenya itu. Kasihan sekali.
Ketika ia sedang bersemangat dan punya ide brilian tentang sebuah film, tak ada satupun bintang yang mau berperan sebagai tokoh utama. Bingung, sudah pasti. Kemudian, memutar otak, memikirkan jalan keluarnya. Ketemulah ide gila bernama kebohongan. Langkah yang fatalis memang. Dibantu oleh temannya yang bernama Hank, seorang programer komputer, ia menciptakan tokoh maya bernama “Simone” singkatan dari simulation one. Tak disangka, film meledak di pasaran, digemari publik, bahkan banyak yang tergila-gila dengan tokoh perempuan cantik bernama Simone tersebut, padahal bukan manusia beneran. Hanya hologram alias vusualisasi maya saja. Publik tertipu.
Jelas, viktor terkekeh. Seiring dengan popularitas Simone, banyak digelar wawancara eksklusif. Tentunya juga dengan akal bulus Viktor. Pada sebuah wawancara yang telah di program oleh Viktor, si gadis cantik Simone tampil memukau. Tetapi, saat mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah menjadikan dirinya terkenal, Simone lupa berterimakasih kepada Viktor alias Viktor sendiri lupa membuat program itu. “Kok tak ada ucapakan terimakasih untuk ayah” Begitu kata anaknya.
Atas kejadian itu ketegangan muncul, Viktor merasa bodoh. Viktor ingin melenyapkan tokoh bernama Simone itu dengan memuatnya mati. Publik percaya saja. Kasus itu terbongkar setelah pihak kepolisian yang telah curiga sebelumnya membuka peti mati Simone yang ternyata memang tak ada mayat. Publik pun gempar. Viktor kemudian mengatakan bahwa sebenarnya Simone tak ada, dia hanya program komputer. Tapi, karena kebohohongan telah sekian lama dilakukan, tak ada yang percaya kalau Simone hanyalah sebuah program komputer. Untung, ada anaknya yang kemudian membuktikan bahwa Simone memang hanyalah sebuah program komputer. Dan, publik jelas geleng-geleng kepala mensikapi fakta yang sebenarnya itu.
Film itu menarik. Setidaknya dalam pandangan penikmat film seperti saya. Selain adegan-adegan yang menegangkan, film itu juga bisa memberikan sebuah pesan tentang akhir dari sebuah kebohongan. Bohong, pada awalnya mungkin membuat kita senang atau puas ketika banyak orang yang percaya. Tetapi, ketika orang lain tahu kita bohong, apa yang terjadi..?. Citra kita jatuh, terpuruk, publik tak menghargai kita sama sekali. Bahkan ketika kelak kita jujur atas perilaku dan omongan kita, bisa jadi masih banyak yang tidak percaya karena reputasi kita memang telah hancur.
Semakin banyak berbohong, sepanjang itulah kita akan disibukkan oleh bagaimana mengarang cerita lain agar tak ada orang yang tahu, kita karang cerita untuk menutup rapat-rapat kebohongan yang telah kita lakukan. Padahal, disaat itulah sebenarnya kita menggali kubur sendiri atas sebuah keterpurukan dan hancurnya citra diri dimata publik kelak di kemudian hari.
Seperti terjadi pada seorang aktivis gereja . Awalnya dikenal sebagai sosok yang bersemangat dalam aktivitas pelayanan. Banyak yang salut kepadanya atas aktivitasnya itu. Tapi kemudian ketahuan bohong “memalsu” tanda tangan pada saat skripsi hanya untuk mengejar lulus cepat. Jelas, citra buruk melekat kepadanya, lantas kekaguman yang selama ini tersematkan kepadanya runtuh, berkurang drastis. Itulah akhir dari sebuah kebohongan. Tragis memang !
You've Got The Talent(s)
Setelah menikmati acara-acara di televisi Indonesia: Indonesia Mencari Bakat (IMB) di Trans TV, Indonesia’s Got Talent di Indosiar, saya koq jadi suka dengan beberapa di antaranya. Hudson misalnya. Pria yang bisa bernyanyi dan berperan ganda: Hudson dan Jessica. Bolak-balik kiri-kanan, dandanan langsung beda. Wah, keren, dah! Langsung malas menonton lagi, ketika Hudson dieliminasi. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada kontestan lainnya yang juga berbakat seperti Klanthink, Putri Ayu atau Brandon, maaf saya tetap suka Hudson.
Di Indonesia’s Got Talent, saya memang belum menyaksikan semuanya. Karena nontonnya pun sepotong-sepotong. Namun, ada seorang yang menyanyi klasik keren, juga ada Young Boys: memainkan alat musik berbeda, pernah mengerubuti satu piano ber-4 dan menghasilkan nada-nada cemerlang. Keren!
Dan terakhir, saya paling senang melihat semangat dari pemenang China’s Got Talent 2010. Armless pianist – Liu Wei. Sekali dia mengeluarkan suaranya dan bernyanyi sembari main piano, saya langsung speechless! Video ini saya tonton dengan sedikit berkaca-kaca sekitar seminggu yang lalu atas rekomendasi suami saya. Liu Wei sangat-sangat-sangat memberikan saya semangat. Di kala mereka yang patah semangat, kehilangan motivasi dan tengah ‘down’ melihat video ini, pastinya akan mendapatkan kekuatan baru. Bahwa Liu Wei yang tidak sempurna secara fisik itu, mempunyai keindahan luar biasa bahkan melalui jari kakinya!
Tidak ada orang yang tidak punya talenta. Meskipun orang yang tidak sempurna fisiknya sekalipun contohnya Liu Wei, Nick Vujicic, atau ‘Lazy Legs’ salah satu anggota penari yang masuk America’s Got Talent pun memilikinya. Terlalu sering kita berpikir kita ini tidak ada talenta apa-apa. Yang ada hanya hobby tidur, nonton televisi, ataupun menghabiskan waktu dengan makan dan makan. Jadi, talentaku apa ya?
Gali terus di dalam diri. Pasti ada sesuatu hal yang bisa dilakukan dengan baik. Pasti ada satu, dua atau tiga talenta bahkan lebih yang Tuhan titipkan di diri kita. Hanya pertanyaannya: sudahkah kita kembangkan dengan baik demi kemuliaan nama-Nya? Atau talenta itu kita kubur dengan rapi atau kita simpan di dalam laci? Atau…Mungkin kita belum begitu percaya diri untuk meyakini bahwa ada suatu kekuatan yang diberikan-Nya kepada kita lewat talenta-talenta itu?
You’ve got talent. Or could be more: you’ve got talents! Jadi, carilah apa yang menjadi kerinduan terdalam di dirimu. Yang membuat ‘passion’ di hati bergelora setiap kali memikirkan hal itu. Tak pernah berhenti walaupun mata terpejam, kau sungguh ingin mewujudkannya suatu saat nanti. Terlepas dari apa pekerjaanmu saat ini. I’m sure, you’ll find it…
Dan setelah itu, luangkan waktu untuk betul-betul mengembangkannya. Be the best you… Kembangkan talentamu bagi dirimu, sesama, dan yang terpenting bagi kemuliaan-Nya!
Memberi Dalam Kekurangan
Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng.
Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil” sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.
Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.
Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu Rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan.
Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesarRMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.
Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan “Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa.”
Friday, October 22, 2010
Liu Wei , Pemenang China Got Talent
Liu Wei, Pianis Tanpa Lengan di China’s Got Talent
Sempat berjalan-jalan di forum ads-id, saya menemukan sebuah thread lumayan lama yaitu tentang Seorang pria muda yang mengundang decak kagum ribuan orang lewat permainan pianonya yang menakjubkan. Dengan sangat mahir, dia memainkan tuts-tuts piano dengan… kedua jempol kakinya!. Di artikel ini menurut saya sangat inspiratif dan bisa memotivasi sahabat semua yang memiliki kelebihan dalam hal fisik untuk tidak lah berputus asa dan selalu bersyukur atas karunia Tuhan yang telah dilimpahkan kepada saya dan sahabat semua. Berikut ini saya cuplik artikelnya.
Pria itu bernama Liu Wei (23 tahun). Meski tidak memiliki lengan, ia bisa tampil memukau di depan ribuan penonton acara “China’s Got Talent” pada 8 Agustus lalu di Shanghai Grand Theatre. Dengan jari-jari kakinya, Liu sukses membawakan karya klasik milik pianis ternama asal Prancis, Richard Clayderman, yakni “Mariage D’amour”.
Usai permainan piano Liu yang luar biasa itu, seluruh juri dan para penonton memberikan standing ovation pada pria cacat tersebut. Dia pun dinyatakan maju ke babak selanjutnya.
Dua Pilihan
Liu kehilangan dua lengannya dalam sebuah insiden saat dirinya berumur 10 tahun. Dalam insiden itu, Liu menyentuh kabel listrik bertegangan tinggi saat sedang bermain petak-umpet bersama teman-temannya. Ia langsung jatuh pingsan.
Setelah melewati masa kritis 45 hari, Liu sadar kedua lengannya telah hilang; karena harus diamputasi. Ia menangis sedih.
Jangankan mengejar mimpi menjadi musisi profesional dan produser musik ternama, makan saja ia bingung bagaimana caranya!
Orangtua adalah pihak pertama yang menyadarkannya. Mereka bilang, Liu harus segera bangkit dan melanjutkan hidup. Saat itu, mereka bisa membantu semua keperluan Liu. Namun bagaimana nasib Liu jika mereka sudah tiada?
“Kamu enggak berbeda dengan orang lain,” kata ibunya berulang kali. “Kamu hanya menggunakan kakimu sebagai pengganti lengan.” Sang ibu juga mengatakan, ia tidak muluk-muluk mengharapkan Liu menjadi orang sukses. Ia hanya ingin putra tersayangnya itu hidup bahagia dan sehat lahir batin.
Meski “hancur”, pikiran Liu segera terbuka.
“Saya sadar, untuk orang seperti saya, cuma ada dua pilihan. Pertama, melupakan semua impian yang nantinya akan mengakibatkan kematian sia-sia dan cepat. Pilihan lainnya, berjuang tanpa lengan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik,” demikian tutur Liu.
Saat berumur 19 tahun, Liu memutuskan untuk tetap mengejar impiannya menjadi produser dan musisi profesional, serta menjalani kehidupan yang lebih baik. Dia pun diam-diam belajar piano. “Enggak ada teori kalau piano itu harus dimainkan dengan tangan kan,” begitu pikir Liu.
Tapi … “Berat sekali. Capek, lecet, kaku, kram, sudah menjadi biasa,” cerita Liu kepada para juri China’s Got Talent. “Tetapi dalam pandanganku, kalau kamu memang mau atau punya keinginan, ya terima dan lakukan saja (semua perjuangan itu).”
Sayang, guru piano pertamanya menyerah dan berhenti. Alasannya, mustahil bagi seseorang memainkan piano dengan jari-jari kaki. Memang, ada bagian-bagian nada yang tak bisa dimainkan karena Liu tak bisa menekan tuts-tuts tertentu.
Liu pantang menyerah dan akhirnya dia bisa mengembangkan gaya permainan tersendiri dengan jari-jari kakinya. Saat ini, ia ikut “China’s Got Talent” dengan target masuk 3 besar.
“Saya berpendapat, kita tetap harus bermimpi dan berupaya mengejar sukses yang didambakan,” demikian alasan Liu. “Secara pribadi, saya ingin membuat orangtua bangga.”
Kini, Liu mengaku hidup bahagia.
kita bisa setuju dengan opini salah satu juri China’s Got Talent, “Melalui musik indah yang telah dimainkan oleh Liu Wei, kita disadarkan untuk bersyukur dan tidak mengeluh. Sebab, hidup itu indah!”
http://vanmovic.com/liu-wei-pianis-tanpa-lengan-di-chinas-got-talent.html
Roger Crawford
Namanya adalah Roger Crawford dan bekerja sebagai konsultan dan pembicara motivator bagi banyak perusahaan fortune 500 di penjuru Amerika. Ketika masih di universitas, ia adalah pemain tennis untuk Marymount Layola University dan menjadi pemain tennis professional. Apakah hal itu tidak membuat Anda terkesan? Tunggu dulu, jika saya katakan bahwa dia tidak punya tangan dan hanya punya satu kaki, bagaimana?
Roger dilahirkan dengan kondisi yang disebut ectrodactylism. Ketika masih dalam kandungan, dokter hanya melihat seperti ada jari jempol keluar dari lengan kanannya dan jari-jari tumbuh di lengan kirinya, namun ia tidak memiliki telapak tangan. Kaki kirinya terus menyusut hanya memiliki tiga jari, kaki ini diamputasi saat ia berumur lima tahun. Orangtuanya diberitahu bahwa Roger tidak akan pernah memiliki kehidupan yang normal
Namun orangtua Roger tidak menyerah, mereka membentuk Roger menjadi manusia normal dan mengajarinya hidup mandiri. Ketika Roger telah siap, ia disekolahkan di sekolah umum. Mereka mengajarinya berpikir positif, dan jadilah Roger menjadi pribadi yang positif.
Roger tidak membiarkan kekurangannya menghambatnya untuk berhasil dan menikmati kehidupan yang telah Tuhan karuniakan. Ia menjalani hidupnya dengan maksimal, karena ia mempercayai bahwa Allah memberikan kelebihan unik dalam dirinya dibalik semua kekurangan yang ada dalam dirinya.
Hari ini apa yang menjadi penghalang bagi Anda untuk maju? Datanglah kepada Allah dan mintalah kekuatan dari-Nya untuk menaklukan kelemahan itu. Karena setiap orang, Allah telah karuniakan sebuah berkat yang unik dimana Anda bisa nikmati secara maksimal di dalam Yesus Kristus.
Kekurangan Anda bukanlah kelemahan, itu hanyalah berkat tersembunyi dari Allah dalam bungkus yang lusuh.
Filipi 4:13
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.
Hidup Maksimal
Beberapa orang dari Eropa pergi ke Afrika. Di tengah-tengah padang belantara yang panas mereka menjumpai sebuah oase / danau kecil. Di dekat danau itu banyak batu-batuan dan mereka menemukan sebilah papan bertuliskan "Yang mengambil batu akan menyesal. Yang tidak mengambil batu juga akan menyesal."
Seorang diantara mereka tidak menggubris perkataan itu. Tetapi seorang yang lain terus memikirkan arti tulisan itu. "Kalau Saya membawa batu-batu itu, Saya akan tahu seberapa menyesalnya Saya karena Saya membawa batu-batu itu. Kalau Saya tidak membawanya, juga akan menyesal, tetapi tentu dengan penyesalan berbeda." Akhirnya ia memutuskan untuk membawa sedikit batu-batu itu dan menyuruh orang lain untuk tidak membawanya. Ada juga orang lain yang tidak menggubris kata-kata itu dan bermain-main, berlomba melempar batu-batu itu ke tengah danau dan menganggap mereka tidak akan menyesal karena tidak memikirkan kalimat itu lebih jauh. Setelah kembali ke Eropa, mereka menyuruh ahli batu-batuan untuk memeriksa dan menyelidiki batu-batuan yang mereka bawa itu. Setelah beberapa saat diselidiki, ternyata batu-batuan itu adalah semacam Safir yang di luar tampaknya jelek tetapi di dalamnya merupakan permata yang sangat indah dan mahal harganya. Yang tidak membawa batu itu akan menyesal karena tidak membawanya, tetapi yang membawanya pun akhirnya juga menyesal karena tidak membawanya lebih banyak.
Bukankah hidup manusia serupa seperti cerita di atas?
Yang Maha Kuasa memberikan kehidupan yang sangat berharga.
Namun, bukankah kita seringkali kurang menghargai waktu hidup ini justru
saat kita masih bisa hidup lama?
Hidup ini begitu bernilai.
Jauh lebih bernilai daripada batu-batu permata.
Itulah sebabnya agar kita tidak menyesal di kemudian hari, maka kita
harus
menjalani hidup dengan maksimal.
Bekerja dengan maksimal, mengasihi keluarga dengan maksimal,
berkarya bagi sesama dengan maksimal.
Intinya ketika kita sudah mengusahakan yang terbaik selama hidup ini,
maka kita tidak perlu lagi menyesal di kemudian hari.
Usahakan yang terbaik selama kesempatan itu masih ada.
Saturday, October 16, 2010
Si Bejo
Kisah Tentang KESETIAAN
Film Hachi - A Dog’s Tale adalah sebuah film drama Amerika 2009 yang disadur ulang dari film Jepang produksi 1987, Hachiko Monogatari yang dibintangi oleh Nakadai dan film tersebut pernah menggemparkan Jepang, dan mencetak rekor penjualan tiket sebesar 4 milyar Yen.
Seekor anjing setia Hachiko adalah sebuah kisah nyata yang terjadi pada 1924 di Jepang. Hachiko, anjing ras Akita, oleh tuannya Ueno Hidesa-buro dibawa pindah ke Tokyo. Ueno adalah profesor jurusan ilmu pertanian di Universitas Tokyo. Setiap pagi Hachiko selalu berada di depan pintu rumah mengantar keberangkatan Ueno ke kantor, dan senja harinya ia berlari ke Stasiun KA Shibuya menyambut kedatangan tuannya dari kantor.
Kebahagiaan dan kebersamaan mereka terus berlangsung hingga 1925. Pada suatu malam, Ueno tahu-tahu tidak pulang seperti biasanya, ia mendadak terserang stroke di universitas dan tidak tertolong lagi. Sejak itu ia tak pernah kembali ke stasiun kereta api di mana temannya si Hachiko tetap setia menunggu.
Sepeninggal Ueno Hidesaburo, Hachiko dipelihara oleh Kobayashi Kikusaburo, namun Hachiko seringkali melarikan diri dari rumah Kobayashi dan secara rutin kembali ke tempat tinggalnya yang lama. Hachiko tidak mengetahui kalau tuannya telah meninggal.
Setelah berkali-kali kecewa, ia mulai menyadari tuannya sudah tak tinggal di rumah lama itu lagi. Maka ia berlari ke Stasiun Shibuya, karena teringat dahulu selalu menjemput tuannya pulang dari kantor di tempat itu. Setiap hari, ia berdiam menanti kedatangan Ueno Hidesaburo, akan tetapi setiap hari ia selalu pulang dengan kecewa, tak menemukan tuannya diantara kerumunan penumpang.
Hal itu berlangsung selama 10 tahun. Hachiko selalu muncul tepat waktu di stasiun setiap senja dan menanti KA merapat di peron. Suatu ketika, seorang murid Ueno Hidesaburo menemukan Hachiko di stasiun itu dan mengikutinya kembali ke rumah Kobayashi.
Dari cerita Kobayashi ia mengetahui kisah Hachiko. Tak lama kemudian, murid itu mempublikasikan artikel tentang anjing ras dari Kabupaten Akita dan di dalam laporan itu tercakup kisah tentang Hachiko.
Pada 1932, artikel tersebut dimuat di sebuah surat kabar terbesar di Tokyo, maka seketika Hachiko mencuri perhatian seluruh masyarakat Jepang. Kesetiaan terhadap tuannya telah mengharukan rakyat Jepang. Para guru dan wali murid menjadikan Hachiko sebagai contoh kesetiaan terhadap keluarga dalam mendidik anak, ia telah mengajarkan kepada masyarakat mengenai cinta dan kesetiaan tulus yang pantang menyerah. Mereka menyebutnya “Anjing setia”.
Pada April 1934, warga setempat mendirikan patung tembaga Hachiko di depan Stasiun Shibuya. Hachiko sendiri juga menghadiri acara pembukaan patung tersebut. Di kemudian hari, pintu masuk stasiun yang ada di dekat patung tembaga tersebut dinamakan “Pintu masuk Hachiko”.
Dalam film produksi AS yang berjudul Hachi - A Dog’s Tale itu, latar belakang dan tahun kejadiannya disesuaikan dengan zaman sekarang serta mengambil lokasi di AS. Film ini disutradarai Lasse Hallström (peraih penghargaan emas untuk filmnya Passion Venesia), ditulis oleh Stephen P. Lindsey dan dibintangi aktor kondang Richard Gere yang memerankan sang profesor.
Rasanya sulit sekali untuk tidak menitikkan air mata ketika menonton film ini. Penantian selama 10 tahun, bagi seekor anjing, adalah penantian seumur hidupnya. Kesetiaan dan penantian terhadap tuannya begitu tulus dan sederhana. Andaikata si anjing-setia itu berharap memperoleh suatu imbalan, maka hanyalah berupa perjumpaan kembali dengan tuannya.
Persis seperti pada ending cerita, di mana salju turun di malam hari, sang anjing-setia yang sudah menua sedang berbaring di tempat tak jauh dari pintu masuk stasiun. Ia perlahan-lahan menutup kedua matanya. Dalam penantian sebelum ajal, sang tuan mendadak muncul dari pintu masuk stasiun, lalu ia berlari menubruk tuannya.
Perjumpaan adalah takdir pertemuan, tidak hanya antara manusia, namun juga antara manusia dengan anjing. Setelah si profesor di stasiun memungut kembali si anjing setia Hachiko yang tercampakkan; kesetiaan, kasih dan kerinduan adalah segalanya bagi anjing-setia Hachiko. Kesetiaan tulus dan kasih yang teguh semacam ini mirip dengan tindakan balas budi.
Ucapanmu Adalah Harimaumu
Belajar Dari Seekor BERUANG
Monday, October 11, 2010
Dibalik Lagu SEMUA BAIK
Lagu rohani yg berjudul “SEMUA BAIK” ini diciptain pada Tahun 1991 oleh “BUDI HARYANTO”. Seorang Pelayan Tuhan yg Setia. Namun, Sang Pencipta lagu ini sendiri, Justru ga pernah dengarin Lagu karyanya, sang pencipta lagu ini pun ga pernah tahu kalo lagunya menjadi berkat banyak orang, dan sang pencipta lagu ini pun ga pernah tahu hingga sekarang kalo lagunya pernah BOOMING di Tahun 2006 dan memberkati Indonesia, Jepang, dan Inggris.
Tapi, setelah bertahun-tahun berpisah. Dan Tepat pada Tgl 12 April 2000. Budi Haryanto pun udah dipanggil Tuhan berpulang ke Surga dan meninggalkan Istri-nya yg bernama Yani dan anaknya Michael.
Dibalik Lagu JanjiMu Seperti Fajar
Dan, sekarang saya benar-benar merasakan pemulihan yang Tuhan kerjakan di dalam hidupku, bahkan saya juga tidak menyangka bahwa lagu “JanjiMu Seperti Fajar” menjadi lagu terbaik Indonesia Gospel Music Award 2006, menjadi theme song sebuah sinetron dengan judul yang sama, dan Tuhan memelihara hidup kami sekeluarga juga melalui lagu tersebut.