Kisah ini merupakan kisah seorang tukang batu yang hidup dengan seorang anak laki-lakinya di dikaki sebuah bukit.
Tukang batu tersebut sangat menyayangi anaknya, sehingga tak pernah sekalipun dia meminta si Anak untuk membantunya dalam bekerja. Karena dia tahu, bahwa pekerjaan yang di lakoninya sangat keras dan melelahkan.
Hingga si anak beranjak dewasa, dan si Tukang Batu semakin renta, kehidupan mereka semakin sulit. Namun si anak masih tetap di manja.
Suatu hari, Tukang Batu yang sudah renta akhirnya meninggal dunia. Si Anak sangat terpukul, dan merasa sangat kehilangan orang tua yang tulus menyayanginya.
Setelah kepergian si Tukang Batu, tinggallah si anak hidup sebatang kara dan mewarisi rumah gubuk peninggalan orang tuanya tersebut.
Karena memang tidak terlatih untuk mencari uang, akhirnya untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari dia menjual barang-barang peninggalan orang tuanya. Satu demi satu barang sudah terjual, hingga akhirnya barang yang mau dijual sudah tidak ada lagi.
Karena barang yang mau dijual sudah tidak ada lagi, mau tidak mau dia harus bekerja. Dia kumpulkan perkakas tukang batu milik ayahnya, dengan harapan menjadi tukang batu seperti ayahnya untuk menghasilkan uang.
Pagi-pagi sekali dia sudah pergi ke bukit untuk mencari batu. Tanpa bekal pengalaman apapun, dia bertekad untuk belajar. Setelah menemukan satu batu yang sangat besar, dia mulai bekerja. Tanpa kenal lelah, dia berusaha memecahkan batu tersebut. Pukulan palunya terdengar sepanjang hari. Anehnya, hingga sore hari tampaknya usaha kerasnya belum membuahkan hasil. Batu tersebut masih terlihat kokoh. Sampai sore hari usahanya belum membuahkan hasil, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pulang dan melanjutkan pekerjaannya tersebut esok hari.
Seperti hari sebelumnya, dengan penuh semangat dia kembali bekerja. Sepanjang hari hingga sore, dia berusaha memecahkan batu tersebut. Hasil yang didapatnya sangat tidak memuaskan. Batu tersebut masih tetap terlihat kokoh.
Dia mulai putus asa. Dengan lunglai, dia melangkah ke sebatang pohon tidak jauh dari batu tersebut. Duduk dan mulai menyalahkan nasib yang menimpanya. “Ayahku tak pernah mengajari aku, untuk memecahkan batu” umpatnya dengan keras. Aku telah gagal, aku tidak mampu menjadi tukang batu.
Ternyata, tidak jauh dari pohon tersebut, ada seorang kakek-kakek, yang memperhatikannya sejak lama. Si kakek tersebut menyapa si Anak. “Kau terlihat sangat kesal anak muda. Ada apa gerangan?” tanya si Kakek. “Ya kakek, aku memang sedang kesal, aku tidak mampu memecahkan batu itu, padahal ayahku adalah seorang tukang batu yang sangat berpengalaman. Sayangnya dia tidak pernah mengajari aku sampai dia meninggal dunia” jawabnya.
“Coba perhatikan ini” kata si kakek sambil melangkah menghampiri batu besar tersebut. Sang kakek memungut palu si anak dan memukul batu tersebut dengan keras. Sungguh aneh, batu tersebut hancur dengan berkeping-keping. Hal ini membuat si anak tersebut terkejut sekaligus takjub melihat si kakek.
“Ajari aku!, ajari aku Kek!, ajari aku kesaktian seperti itu, supaya aku bisa mencari nafkah!” jeritnya histeris kepada si Kakek.
Si Kakek tersenyum dan berkata ” Hei anak muda, tidak ada kesaktian yang ku miliki”. “Jangan bohong Kek, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, kau hanya butuh satu pukulan untuk menghancurkan batu itu, sedangkan aku sudah berhari-hari memukulnya tanpa menghasilkan apapun” kata si Anak.
Dengan bijak si Kakek berkata ” Hei anak muda, yang kulakukan hanyalah melakukan pukulan terakhir dari pukulan-pukulan yang telah kau lakukan sebelumnya”. “Apa maksud kakek? janganlah kakek berusaha membodohiku” kata si Anak.
“Begini anak muda, batu itu hanya membutuhkan satu pukulan terakhir ketika kau memutuskan untuk menghentikan pekerjaanmu. Aku hanya menyelesaikan pukulan terakhir itu, tanpa mengandalkan kesaktian apapun” kata si Kakek.
Hikmah, yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah, bahwasanya dalam melalukan sesuatu, kita sering putus asa, padahal kita tidak tahu, terkadang apa yang sedang kita usahakan itu tinggal membutuhkan satu pukulan terakhir untuk menyelesaikannya.
No comments:
Post a Comment