Tukang pajak berbangsa Prusia yang berwajah kejam itu berhadapan muka dengan puteranya yang berusia sepuluh tahun, “Kamu telah mengambil uang yang bukan milikmu, George.”
Anak itu menggeliat-geliat di bawah pandangan ayahnya. “Tidak, Ayah,” ia menggagap, “saya tidak mengambil uang.”
“Sekali ini aku memasang sebuah perangkap,” si ayah menjelaskan. “Aku kira kamu telah mencuri uang dari pajak pungutanku, saat itu aku menghitung sejumlah uang dan kemudian menaruhnya di ruangan ini. Sebagian dari uang itu telah hilang. Nah, kucing tidak mungkin mengambilnya.”
“Ayah keliru,” anak itu memohon.
“Aku tidak keliru. Jika kamu tidak mengakuinya, aku harus menggeledahmu.”
Tukang pajak itu menggeledah saku anaknya dan tidak menemukan apa-apa. George tersenyum sendiri.
“Sekarang buka sepatumu,” ayahnya memerintahkan.
“Kaki saya sakit. Kalau dibuka nanti sakit.”
“Aku katakan, buka.”
Anak itu dengan segan membuka sepatunya.
“Sekarang berikan sepatu itu kepadaku.”
Anak itu menurut. Senyuman itu samar-samar lenyap dari wajahnya.
“Ah, ini dia. Sekarang, pergilah ke gudang.”
“Tetapi, saya minta maaf, Ayah. Saya berjanji tidak akan mencuri lagi.”
George Müller menerima hukumannya. Tetapi ia mencuri lagi, mencuri lagi, mencuri lagi – sampai akhirnya hidupnya diubah oleh Kristus.
Ibunya meninggal ketika ia berumur empat belas tahun dan waktu itu ia sedang bersekolah. Pada malam ketika ibunya meninggal, dengan tidak sadar akan penyakit ibunya, George sedang bermain kartu. Hari Minggu, keesokan harinya, ia menghabiskan waktunya bersama-sama dengan beberapa temannya di sebuah kedai minuman.
Tidak berapa lama kemudian ia dibaptiskan di sebuah gereja Lutheran. Ayahnya telah memberinya uang yang banyak untuk membayar gembala jemaatnya. Tetapi George yang licik itu memberi gembala jemaat itu hanya seperduabelas dari jumlah uang itu.
“Saya akan berlaku lebih baik,” ia berjanji kepada dirinya sendiri pada saat itu ia mengikuti kebaktian. Tetapi keputusannya itu sia-sia saja.
Tahun berikutnya, ayahnya dipindahkan ke kota Schoenebeck, Prusia. Ia meninggalkan George sendirian di rumahnya yang lama agar mengawasi perbaikan-perbaikan rumahnya dan belajar dengan seorang pendeta, karena George telah membuat keputusan untuk belajar menjadi pendeta. Tetapi ketika tukang pajak itu pergi. George sibuk dengan pekerjaannya yang lain. Ia mengumpulkan uang orang-orang di desanya yang berutang kepada ayahnya, lalu ia melakukan perjalanan yang
kemudian ia sebut “dosa enam hari.”
Ketika uangnya telah habis, ia pindah ke hotel yang mahal, menginap seminggu, kemudian lari tanpa membayar ongkos-ongkosnya. Ia pindah ke hotel lain, menginap dan bersenang-senang seminggu lamanya, lalu bersiap-siap untuk melarikan diri melalui sebuah jendela. Namun kali ini ia tertangkap. Pada umur enam belas tahun anak tukang pajak itu dipenjara selama dua puluh empat hari.
Setelah ayahnya memberikan uang jaminan untuknya, ia bersekolah di Nordhausen, Prusia. Untuk menyenangkan hati gurunya ia belajar dari jam empat pagi sampai jam sepuluh malam. Gurunya memujinya di kelas sebagai seorang pemuda dengan harapan yang baik dalam pelayanan kependetaan. Walaupun demikian George Müller terus-menerus bermabuk-mabukan dan berfoya-foya. Ia merasa bersalah pada saat ia turut ambil bagian dalam perjamuan Tuhan. “Tetapi satu atau dua hari setelah ikut serta dalam perjamuan Tuhan itu, saya berlaku sama jahatnya seperti sebelumnya,” ia menulis dalam catatan hariannya.
Ketika ia berumur dua puluh tahun, ia dianjurkan belajar di Universitas Halle serta diberi hak untuk berkhotbah. Ketika di Halle inilah ia menyadari bahwa ia harus memperbaiki diri seandainya saja ada sebuah jemaat yang memilih dia sebagai gembala jemaatnya. Pada waktu itu ia menganggap pelayanan kependetaan semata-mata sebagai suatu mata pencaharian yang baik, bukan sebagai suatu pelayanan
kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Ia bertemu dengan seorang teman mahasiswa, bernama Beta yang hidup sebagai orang Kristen yang patut dicontoh. George memilih Beta sebagai teman dekatnya, dengan berpikir bahwa ia memperbaiki hidupnya dengan seorang teman Kristen.
Tetapi Beta itu seorang Kristen yang kembali berbuat jahat dan ia bersahabat dengan George hanya karena ia mengira George akan membawanya kepada kesenangan-kesenangan yang lebih banyak.
Dalam bulan Agustus tahun 1825, George Müller, Beta dan dua orang mahasiswa lainnya menggadaikan sebagian milik mereka untuk memperoleh cukup banyak uang untuk bepergian selama beberapa hari. Ketika seorang dari mahasiswa-mahasiswa itu mengusulkan pergi ke Swiss, George yang licik itu sudah mempunyai suatu rencana. Ia hanya duduk saja dan memalsukan surat-surat penting yang diperlukan dari orang tuanya untuk mendapatkan paspor.
Dalam perjalanan itu George menjadi bendahara. Karena ia memang suka mencuri, ia menyelewengkan uang itu supaya teman-temannya membayar sebagian dari ongkos-ongkosnya.
Ketika mereka kembali ke universitas, Beta sangat menyesal dan ia mengakui segala dosanya kepada ayahnya. Kemudian ia mengundang George untuk menghadiri suatu persekutuan doa di rumah seorang teman. Mereka pergi bersama. “Saya belum pernah sebelumnya melihat seorang berdoa berlutut,” demikianlah komentar George, yang kemudian menjadi seorang yang terkenal di dunia karena kuasa doanya.
George merasa canggung di dalam persekutuan itu, karena suasananya yang aneh. Ia bahkan meminta maaf atas kehadirannya di sana.
“Datanglah sering-sering; pintu dan hati kami terbuka bagi Saudara,” tuan rumah itu mengundangnya dengan senang hati.
Setelah dua lagu pujian, satu pasal dari Alkitab dibacakan. Kemudian lagu pujian lainnya dan pada saat tuan rumah itu berdoa, suatu perasaan sukacita dan damai timbul dalam hari George Müller. Dalam perjalanan pulang, dengan penuh kegembiraan ia berkata kepada Beta, “Segala kesenangan kita yang dulu itu tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang kita alami malam ini.”
Kristus telah menyentuh hati George Müller di persekutuan doa itu dan sejak saat itu ia menjalani kehidupan yang telah diubah.
Kemudian ia pindah ke Inggris, di mana ia menjadi terkenal sebagai orang yang beriman. Ia mendirikan lima buah Panti Asuhan di Bristol yang dapat menampung dua ribu orang anak. Selama hidupnya ia mengurus 9975 orang anak yatim piatu dan menerima lima puluh ribu jawaban khusus bagi doanya.
Inilah kisah orang yang tidak pernah melihat seorang Kristen berdoa berlutut sampai ia berusia dua puluh satu tahun.
No comments:
Post a Comment